Apa Itu Anxiety, Apa Saja Gejalanya, dan Apa Bedanya dengan Depresi?

BBC Indonesia
Sumber :
  • bbc
Getty Images
Meskipun banyak orang yang terdampak dan sudah ada berbagai penelitian tentang kecemasan, gangguan mental ini tetap menjadi tantangan besar bagi para ahli.

Kecemasan atau `anxiety` adalah hal yang umum dirasakan banyak orang di seluruh dunia.

"Ini adalah perasaan tidak nyaman yang menjalar ke seluruh tubuh, perasaan khawatir yang tidak menyenangkan dan kerap disertai dengan ketegangan, antisipasi skenario berbahaya - seringkali tidak realistis - serta berbagai bentuk manifestasi fisik," kata psikiater Gabriela Bezerra de Menezes, seorang peneliti di Universitas Federal Rio de Janeiro (UFRJ).

Ini seperti tanda peringatan dari tubuh ketika menghadapi bahaya.

Kecemasan, atau anxiety, adalah salah satu penyebab terbesar bolos kerja di seluruh dunia. Dan setidaknya sepertiga dari populasi dunia akan mengalaminya dalam masa hidup mereka, termasuk anak-anak dan remaja.

Di Indonesia, survei yang dilakukan tim peneliti di Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia kepada anak muda usia 16-24 tahun menemukan lebih dari 95% responden menyatakan mereka pernah mengalami gejala kecemasan dan 88% pernah mengalami gejala depresi.

Dan menurut sebuah survei oleh Ipsos Institute, pandemi virus corona telah memperburuk kesehatan mental hampir setengah dari jumlah orang dewasa di 30 negara.

Tetapi pada titik mana kecemasan yang "pertama", seperti kekhawatiran, ketakutan, atau ketidaknyamanan menjelang suatu peristiwa penting, berkembang menjadi kecemasan "kedua", atau lebih tepatnya, masalah kesehatan yang begitu parah hingga membuat banyak orang merasa lumpuh sampai tidak bisa bekerja?

Ini biasanya terjadi ketika respons alami terhadap ancaman atau ketidakpastian menjadi terlalu intens atau terlalu sering, dan mengakibatkan gangguan kesehatan mental dengan gejala seperti mual, nafas pendek, hilang selera makan, infomnia, pusing, berkeringat, letih, sakit perut, jantung berdebar, dan tidak bisa bertemu dengan orang lain atau keluar rumah.

Getty Images
anxiety disorder

Para ahli belum tahu pasti akan penyebab semua ini, namun mereka sudah punya jawaban tentang kapan sebaiknya meminta pertolongan, pemicu yang paling umum , perawatan paling efektif, dan kaitan kuat antara gangguan kecemasan dan penyakit lainnya.

"Gangguan kecemasan (anxiety disorder) jarang terjadi dalam isolasi. Ia disertai gangguan mental lain misalnya depresi dan gangguan penggunaan obat-obatan dalam 60% sampai 90% kasus," Antonio Geraldo da Silva, presiden Asosiasi Psikiatri Brasil, menjelaskan dalam wawancara dengan BBC News Brazil.

Meskipun sudah ada berbagai studi tentang kecemasan dan jumlah orang yang terdampak sangat banyak, penting untuk ditekankan bahwa ia masih merupakan tantangan besar bagi para ahli.

"Anxiety disorder biasanya tidak terdiagnosis dan diperkirakan bahwa setengah dari individu (yang mengalaminya) tidak mendapatkan diagnosis yang tepat," kata Menezes, yang juga seorang psikolog klinis dan peneliti di Institut Psikiatri UFRJ serta professor di Universitas Federal Fluminense (UFF).

Kapan dan bagaimana cara meminta pertolongan?

Para ahli mengatakan Anda perlu awas dan mencari bantuan profesional ketika kecemasan menjadi hal yang konstan, memengaruhi kualitas hidup Anda, dan melibatkan lebih dari pemicunya.

Dalam istilah yang lebih konkret, ketika Anda jadi kesulitan untuk melaksanakan pekerjaan sehari-hari, ketika Anda stress atau terlalu khawatir tentang hal-hal kecil atau ketika perasaan cemas itu (misalnya perut terasa tegang) berlangsung selama berhari-hari.

Itu, selain gejala yang disebutkan di atas, misalnya suasana hati yang mudah berubah-ubah, kesulitan berkonsentrasi, berkeringat, dan pusing.

Getty Images
Para ahli mengatakan Anda perlu awas dan mencari pertolongan profesional ketika kecemasan menjadi konstan dan memengaruhi kualitas hidup Anda.

Ada banyak pembicaraan tentang dampak kehidupan modern, media sosial, dan pandemik Covid-19 pada kecemasan yang dirasakan secara luas, namun ini bukanlah fenomena yang baru .

Seneca, seorang filsuf asal Andalusia yang selalu bersiap untuk hal terburuk, telah menaruh perhatian pada perilaku cemas di Kekaisaran Romawi.

Pada awal abad ke-17, dramawan Inggris William Shakespeare mengamati dan menulis tentang karakter-karakter dengan perilaku cemas dan obsesif, misalnya Lady Macbeth dan Hamlet.

Tiga abad kemudian, psikoanalis Austria Sigmund Freud menganalisis secara klinis fenomena serangan panik, pada waktu ketika belum ada istilah saintifik dan diagnosis tentang masalah kesehatan mental ini.

Ada juga perspektif evolusi tentang ini.

Menurut Layanan Kesehatan Inggris (NHS), kecemasan adalah reaksi alami dalam tubuh manusia yang kerap dikaitkan dengan insting yang disebut "fight or flight", yaitu insting binatang untuk mempertahankan diri ketika dikepung oleh predator di alam liar.

Tubuh manusia, melalui instrumen seperti sistem syaraf dan hormon, mengenali bahaya, memfokuskan perhatian kepadanya, mendorong perubahan dalam tubuh - misalnya mempercepat detak jantung - dan mengeluarkan adrenalin sebagai reaksi.

Getty Images
Ada banyak pembicaraan tentang dampak kehidupan modern, jejaring sosial, dan pandemi Covid-19 pada kecemasan secara umum, tetapi fenomena ini bukanlah hal baru.

Masalahnya ialah ketika kecemasan menjadi berlebihan dan dirasakan setiap hari.

Dan ketika pemicu kecemasan berlebihan ini beragam, misalnya lingkungan, genetis, psikologis, dan developmental.

Pemicu ini dapat merupakan situasi yang spesifik dan konkret, misalnya ketika orang terkasih jatuh sakit, dipecat dari pekerjaan, situasi kekerasan, atau takut dipermalukan di depan umum.

Namun seringkali kecemasan berlebihan ini muncul dari sesuatu yang bahkan orang yang mengalaminya pun tidak tahu.

Atau orang itu tahu penyebabnya dan memahami bahwa tidak ada alasan untuk bereaksi berlebihan, tetapi ia tetap tidak bisa mengendalikannya.

"Kecemasan menjadi patologis ketika ia mulai mengganggu kehidupan individu, memberikan dampak negatif dan menyebabkan penderitaan, ketidaknyamanan emosional, dan berkurangnya kualitas hidup," jelas Menezes, dari UFRJ.

"Dalam situasi ini, bantuan dari spesialis perlu dicari untuk mengevaluasi kemungkinan adanya gangguan kecemasan," ia menambahkan.

Beberapa orang menghadapi masalah atau hambatan dalam mencari perawatan khusus dan dapat mencari jalan keluar dari situasi dengan membicarakannya dengan keluarga atau teman, misalnya.

Anxiety ini juga bisa sangat sulit bagi anak-anak dan remaja, kelompok yang sangat terpengaruh oleh masalah kesehatan mental dan yang merasa sulit untuk mengekspos gejala-gejala ini dan mencari bantuan, terutama sekarang selama pandemi.

Sebuah studi yang dipimpin oleh profesor dan psikiater Guilherme Polanczyk, dari University of São Paulo (USP), dengan sekitar 6.000 orang muda berusia 5 hingga 17 tahun, menunjukkan pada Oktober 2021 bahwa 36?ri mereka memiliki gejala kecemasan dan depresi pada tingkat yang memerlukan evaluasi klinis.

Sebagian dari ini terkait dengan kekhawatiran soal Covid-19 dan pembatasan pergerakan orang yang diadopsi oleh pemerintah untuk mencegah penyebaran virus corona, seperti penutupan sekolah.

Getty Images
Kecemasan juga dapat memengaruhi anak-anak dan remaja.

Apa perawatan utama untuk gangguan kecemasan?

Sebelum merawat pasien dengan gangguan kecemasan, diperlukan identifikasi mengenai intensitas serta tingkat keparahan kondisi kesehatan spesifik mereka.

Bentuk utama perawatan adalah terapi (dengan psikolog, psikoterapis atau psikoanalis), serta psikiatri dan farmakotherapeutic (dengan psikiatri dan psikoterapi).

Tetapi setiap kasus berbeda, dan perawatan terbaik harus ditentukan oleh tenaga profesional kesehatan yang menemani pasien.

"Pada gangguan kecemasan yang lebih ringan, perawatan dengan psikoterapi saja dapat direkomendasikan," kata Silva, dari Asosiasi Psikiatri Brasil.

"Untuk kondisi sedang atau berat, psikoterapi perlu digabung dengan obat-obatan; ini adalah bentuk perawatan paling efektif, dengan respons dan kualitas hidup yang lebih baik," imbuhnya.

Psikolog Juliana Vieira Almeida Silva, penulis buku Anxiety, Medo and Worries: Manual da Mente Tranquila, menyebut terapi kognitif-perilaku (cognitive-behavioral therapy, CBT) sebagai salah satu intervensi yang utama dan paling efektif. Terapi itu mengajarkan pasien - melalui percakapan antara pasien dan terapis - untuk mengidentifikasi dan mengatasi pikiran, keyakinan, dan perasaan yang negatif, serta memutus siklus yang mengelilingi mereka.

Menurut pendekatan ini, jelas Almeida Silva, "gangguan psikologis muncul dari distorsi pada cara mempersepsi fakta-fakta kehidupan sehari-hari, dan ini memengaruhi perilaku dan seringkali berdampak pada kehidupan orang tersebut."

Selain perawatan tradisional yang disebutkan di atas, ada berbagai cara lainnya yang dapat membantu mengatasi kecemasan, seperti teknik-teknik meditasi, kesadaran, dan pernapasan; serta psikoedukasi (mengetahui kondisi Anda dan membicarakannya dengan anggota keluarga, berpikir dan berbicara tentang hal yang membuat Anda cemas, dan membuat pasien merasa lebih aktif dalam pemulihan mereka).

Latihan fisik (misalnya jalan kaki), perubahan pola makan, menuliskan pikiran dan perasaan di jurnal, dan mengidentifikasi kegiatan yang menyenangkan (mendengarkan musik, misalnya) juga dapat membantu.

Kelompok pendukung, baik virtual atau tatap muka, juga bisa cara yang bagus bagi sebagian orang untuk bertukar pengalaman dan membicarakan berbagai pilihan dalam menangani masalah, serta memahami bahwa mereka tidak menghadapi semua ini sendirian.

Getty Images
Ada berbagai pemicu perilaku cemas.

Beberapa orang juga mendapatkan manfaat dari menghindari makanan yang dapat memperburuk gejala, seperti kafein, atau zat psikoaktif yang dapat memiliki efek negatif yang sama, misalnya alkohol.

Selain itu, Silva menyatakan bahwa "untuk meringankan gejala, kami sarankan supaya, bila memungkinkan, menjauh dari kemungkinan pemicu."

"Misalnya, jika pekerjaan merupakan faktor yang secara langsung mengakibatkan kecemasan, kita dapat meminta cuti selama yang diperlukan," tambahnya.

Semua ini mungkin tampak sederhana dan praktis, namun Menezes, dari UFF dan Institut Psikiatri UFRJ, menekankan bahwa masih banyak masalah, hambatan dan tantangan yang terkait dengan gangguan kecemasan ini.

Menurutnya, ada banyak pasien yang tidak terdiagnosis, setengahnya salah didiagnosis, dan hanya sepertiga yang dapat mengakses perawatan yang tepat.

Selain itu, sang psikiater menganggap bahwa situasinya bisa semakin buruk karena, "meskipun sudah ada bukti mengenai efektivitas berbagai intervensi, ada jangka waktu yang cukup lama antara timbulnya gejala dan pencarian perawatan."

Tetapi konsekuensinya tidak terbatas pada kehidupan pasien.

"Ada juga dampak besar pada sistem kesehatan, tidak hanya karena pengeluaran dengan perawatan, tetapi juga karena permintaan yang lebih sering akan tindakan medis untuk gejala fisik yang diakibatkan oleh kecemasan," kata Menezes.

Di Indonesia, isu kesehatan jiwa masih kurang menjadi perhatian, meskipun terjadi tren peningkatan masalah tersebut.

Saat ini, hanya ada 987 dokter ahli jiwa di Indonesia - ini sama dengan satu dokter untuk 250.000 penduduk. Dari jumlah itu, sekitar 60?rada di pulau Jawa, terutama di Jakarta.

Apa bedanya kecemasan dengan depresi?

"Kecemasan dan depresi sama-sama melumpuhkan individu dan sama-sama dianggap sebagai penyakit yang mengurangi kualitas hidup dan kesenangan melakukan kegiatan yang sebelumnya menyenangkan.

Mereka adalah gangguan yang berjalan beriringan, tetapi masing-masing memiliki gejala dan perawatannya sendiri," jelas Silva.

Menurut sang psikiater, perbedaan terbesar adalah kecemasan ditandai dengan ketakutan dan kesedihan yang konstan, sementara depresi biasanya merupakan gangguan di mana orang tersebut merasa tertekan dan kehilangan motivasi atau minat untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sebelumnya menyenangkan.

Secara umum, adanya gangguan kecemasan dianggap sebagai faktor risiko untuk depresi dan sebaliknya. Tapi mengapa?

Menurut sekelompok peneliti psikopatologi (bidang sains yang mempelajari kesehatan mental) dari Universitas Groningen di Belanda, satu gangguan kejiwaan cenderung menghasilkan gejala yang memicu gangguan baru.

"Misalnya, orang yang merasa lesu atau letargik sulit untuk tetap aktif pada siang hari, yang kemudian mengakibatkan kesedihan dan kegelisahan yang lebih besar karena orang tersebut tidak mencapai hal yang ingin mereka lakukan," tulis para peneliti dalam sebuah makalah yang diterbitkan pada tahun 2020.

Getty Images
Adanya gangguan kecemasan dianggap sebagai faktor risiko untuk depresi, dan sebaliknya.

Mereka berpendapat bahwa mungkin ada semacam jembatan mental yang menghubungkan kecemasan dengan depresi.

Selain itu, ada beberapa gejala umum (dan tumpang tindih) dalam dua gangguan ini yang dapat membantu memahami komorbiditas antara keduanya. Misalnya nyeri.

Studi ilmiah di Universitas Harvard menunjukkan bahwa ada hubungan anatomi antara kecemasan, depresi, dan rasa sakit, terutama pada pasien dengan kondisi kronis seperti fibromyalgia, sindrom iritasi usus besar, nyeri punggung bagian bawah, migrain dan nyeri neuropatik (disebabkan oleh kerusakan saraf).

Korteks somatosensori (bagian otak yang menafsirkan sensasi seperti sentuhan) berinteraksi dengan amigdala, hipotalamus, dan gyrus singulata anterior (wilayah yang mengatur emosi dan respons stres) untuk menghasilkan pengalaman mental dan fisik dari rasa nyeri. Daerah yang sama ini juga berkontribusi pada kecemasan dan depresi," katanya.

"Selain itu, dua neurotransmiter, serotonin dan noradrenalin, berkontribusi pada pensinyalan rasa sakit di otak dan sistem saraf. Neurotransmiter ini juga dikaitkan dengan kecemasan dan depresi."

Selain itu, Silva, dari Asosiasi Psikiatri Brasil, menjelaskan bahwa gangguan mental komorbid (seperti kecemasan dan depresi) terjadi pada 60% hingga 90% kasus dan bahwa ada peningkatan dalam tingkat gangguan depresi dan, pada tingkat yang lebih rendah, gangguan penggunaan zat psikoaktif pada tahun-tahun awal gangguan kecemasan.

Menurut sang psikiater, kehadiran kondisi ini di masa kanak-kanak, remaja, atau dewasa awal "meningkatkan risiko gangguan depresi dan kemungkinan depresi berat dengan kronisitas dan upaya bunuh diri."

Selain itu, studi ilmiah menunjukkan bahwa "semua gangguan kecemasan, terutama gangguan panik, agorafobia dan gangguan kecemasan sosial adalah faktor risiko yang kuat untuk perkembangan gangguan depresi dan penyalahgunaan obat," kata Silva.

Apa saja jenis-jenis gangguan kecemasan?

Gangguan-gangguan yang termasuk dalam kelompok gangguan kecemasan, menurut Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (DSM-5), dari Asosiasi Psikiatri Amerika, adalah gangguan kecemasan umum, gangguan panik, gangguan kecemasan sosial, agoraphobia, fobia spesifik, gangguan kecemasan perpisahan, dan mutisme selektif.

"Meskipun tidak lagi menjadi bagian dari kelompok Gangguan Kecemasan, gangguan obsesif kompulsif (OCD) dan gangguan stres pasca-trauma (PTSD) memiliki banyak karakteristik yang sama, termasuk sering adanya gejala kecemasan," kata Menezes.

Gangguan obsesif-kompulsif (OCD) kerap dijabarkan sebagai penyakit kronis di mana otak dipengaruhi oleh pikiran, ide, atau gambaran peristiwa yang menyedihkan, yang menyebabkan lebih banyak kecemasan.

Hal ini ditandai dengan perilaku dan tindakan berulang, serta dorongan-dorongan yang tidak tertahankan.

Umumnya, gangguan stres pasca-trauma (PTSD) terjadi pada pasien yang pernah mengalami peristiwa traumatis seperti kecelakaan, pelecehan seksual, penculikan, dan mengakibatkan berbagai gejala fisik dan psikologis seperti pikiran yang mengganggu dan ingatan tak sadar yang berulang.

Getty Images

Menurut Layanan Kesehatan Masyarakat Inggris (NHS), seorang pasien dengan gangguan stres pasca-trauma menjalani kembali episode traumatis melalui kilas balik atau mimpi buruk.

Anda mungkin mengalami kesulitan tidur dan berkonsentrasi, dan Anda mungkin mengalami perasaan bersalah dan jadi gampang kesal.

Pasien-pasien ini cenderung menghindari situasi atau orang-orang yang mengingat peristiwa traumatis.

Almeida Silva, psikolog dan juga profesor di Univali, mengatakan kepada BBC News Brazil bahwa gangguan kecemasan biasanya beriringan dengan komorbiditas lainnya.

"Misalnya, pasien mungkin memiliki gangguan kecemasan umum (GAD) dan gangguan panik pada saat yang sama," katanya.

GAD, atau gangguan kecemasan umum, biasanya digambarkan sebagai kecemasan berlebihan dan konstan yang berdampak pada aktivitas sehari-hari pasien, memanifestasikan dirinya hampir setiap hari selama setidaknya 6 bulan.

Layanan Kesehatan Masyarakat Inggris mendefinisikan GAD sebagai kondisi jangka panjang yang menyebabkan kecemasan tentang berbagai jenis masalah dan situasi, alih-alih peristiwa tertentu.

Pasien dengan GAD sangat sering merasa cemas dan barangkali sulit mengingat kapan terakhir kali mereka merasa santai. Adalah hal yang umum bagi mereka ketika satu pikiran cemas selesai, pikiran lain segera mengambil alih.

Para ahli mendefinisikan gangguan panik sebagai serangan panik yang sering terjadi.

Di sini gejalanya bersifat fisik dan psikologis. Adalah umum bagi orang-orang yang mengalami serangan ini untuk keliru mengira gejala gangguan panik sebagai serangan jantung dan berakhir di ruang gawat darurat.

Di antara gejalanya adalah nyeri dada, badan menggigil, jantung berdebar, keringat dingin, sensasi tersedak, dan sebagainya.

Menurut Asosiasi Psikiatri Amerika, seseorang dengan gangguan kecemasan perpisahan merasakan kecemasan terus-menerus ketika orang yang memiliki ikatan dekat dengan mereka (ibu, ayah, pasangan, anak) memisahkan diri dari mereka.

Intensitas yang dirasakan lebih besar dari yang diharapkan untuk usia mereka dan dapat menyebabkan keputusan yang membatasi koeksistensi dan perkembangan mereka di dunia.