Kekerasan dalam Rumah Tangga Picu Anak Jadi Teroris

Sejumlah anggota Polisi melakukan identifikasi terhadap rumah terduga teroris pengeboman gereja di kawasan Wonorejo Asri, Rungkut, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/5). - ANTARA/M RISYAL HIDAYAT
Sumber :
  • bbc

VIVA – Teror bom di Surabaya menyebabkan banyak korban meninggal hingga luka-luka. Mengenaskannya lagi, aksi tersebut itu turut melibatkan anak-anak sebagai pelaku.

Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) RI, Yohana Yambise, seseorang menjadi pelaku terorisme dapat dipicu oleh kekerasan dalam rumah tangga, "Karena kekerasan dalam rumah tangga masih tinggi. Anak yang broken home bisa jadi pelaku dalam aksi teror bom ini," ujarnya di acara Peluncuran Aliansi Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak (PKTA), di Jakarta, Senin, 14 Mei 2018.

Selain itu, mengajak anak dalam tindakan terorisme dan radikalisme, dapat dikenakan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Ditegaskan Yohana, kunci utama dalam memutuskan mata rantai tindakan radikalisme anak ini bisa dimulai di dalam rumah tangga.

"Kita buat konsep pencegahan alternatif terkait perilaku seperti ini pada anak, yang dimulai dari perhatian utama pada keluarga. Kasus kekerasan di rumah tangga, membuat anak mengikuti perilaku kasar dari orangtua," terangnya.

Untuk itu, orangtua berkewajiban membina dan mendidik anak serta mengajarkan kasih sayang agar memberi pembelajaran positif. Sehingga, anak bisa lebih memahami bagaimana berbagi kasih dengan sesama.

"Konsep perhatian pada keluarga ini membuat anak lebih paham mengenai kasih sayang. Nantinya anak juga bisa jadi agen perubahan yang menularkan pemahaman akan kasih sayang pada sesama," kata dia.

Aksi yang diduga bom bunuh diri di Surabaya pada 13 Mei dan 14 Mei 2018, terjadi di beberapa lokasi, di antaranya tiga gereja, pemukiman warga, dan Mapolrestabes Surabaya.