Miris, Banyak Anak di Tangerang Menderita Gizi Buruk

Ilustrasi bayi menangis.
Sumber :
  • Pixabay/ joffi

VIVA – Sebagai daerah penyangga ibukota, perkembangan pembangunan di Tangerang cukup masif. Infrastruktur yang menjadi parameter masyarakat, dalam sepuluh tahun terakhir tumbuh sangat signifikan.

Tangerang bahkan menjadi kota terbesar ketiga di Jabodetabek yang memiliki infrastuktur yang mendukung terciptanya sebuah kawasan hunian yang nyaman. 

Sayangnya, berbanding terbalik dengan geliat pertumbuhan infrastruktur, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Tangerang yang menjadi indikator keberhasilan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat terbilang rendah. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), IPM Kota Tangerang sebesar 77,01 masuk urutan ke-53 IPM kota atau kabupaten se-Indonesia. Sementara Kabupaten Tangerang dengan IPM 70,97 berada pada urutan 145, dari total 514 kabupaten atau kota di Indonesia.

Baca juga: Selebriti Sampai Politisi, Ikut Komentari Pose Reza dengan Prilly

Jika dirunut, salah satu faktor penentu tinggi rendahnya IPM adalah kecukupan gizi anak di masa 1.000 HPK. Artinya, kecukupan gizi anak sejak dalam masa kandungan hingga berusia dua tahun, akan menentukan kualitas anak di masa depan. 

Asupan gizi yang cukup akan menumbuhkan generasi unggul yang mampu bersaing dengan masyarakat dunia. Karena itu, bila IPM Tangerang, yang hanya berjarak 50 km dari pusat kota Jakarta berada pada urutan bawah, maka kecukupan gizi anak-anak usia dini perlu diperhatikan.  

Bupati Tangerang, Ahmed Zaki Iskandar, mengakui masih banyak anak-anak yang mengalami stunting atau masalah kurang gizi. Berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Tangerang, tercatat ada sebanyak 28,8 persen warganya yang menderita kurang gizi.

Baca juga: Pelawak Omas Wati Meninggal Dunia

"Stunting ini masih dianggap biasa, padahal ini berdampak pada pertumbuhan anak. Masyarakat harus tahu masalah stunting, supaya bisa diminimalisir keberadaannya," ujar Ahmed Zaki, dikutip dari siaran pers yang diterima VIVA, Kamis 16 Juli 2020. 

Aktivis kesehatan anak, Yuli Supriati, mengatakan di beberapa daerah, stunting masih belum menjadi kekhawatiran masyarakat. Calon ibu dan ibu-ibu muda, dikatakan Yuli masih banyak yang tidak teredukasi mengenai stunting ini. 

“Masyarakat tidak paham apa itu stunting, apa penyebabnya, seperti apa tanda-tandanya dan apa yang harus dilakukan. Saya menemukan, beberapa anak dengan usia 2 tahun, berat badannya hanya 2 kg, tapi orang tuanya masih ngotot anaknya baik-baik saja," kata dia. 

Disebutkan Yuli, dalam kunjungannya ke Puskesmas Tigaraksa, Tangerang, beberapa waktu lalu. Ia mendapati 36 anak usia di bawah 5 tahun berada dalam status kurang gizi. Sebanyak 21 anak di antaranya berada pada rentang usia 1 - 2 tahun. 

Di desa Cileleus, Tigaraksa Tangerang, Yuli bertemu Mutia dan Tegar, dua balita penerima program pemberian makanan tambahan (PMT) dari Puskesmas Tigaraksa. Mutia dan Tegar berusia 2 tahun, dengan berat badan hanya 7 kg. Padahal, untuk anak normal, usia dua tahun seharusnya memiliki berat badan 14 kg untuk perempuan dan 15 kg untuk laki-laki. 

“Pas bayinya mah dikasih ASI, tapi kan bapak ibunya kerja, anaknya dirawat saya. Kalau pas lagi ada (uang), dibeliin susu kaleng, sering juga diutangin di agen,” ujar Amah, nenek yang merawat Mutia. 

Susu kaleng yang dimaksud Amah adalah kental manis. Amah sendiri sudah tak mengingat sejak kapan cucunya mengonsumsi kental manis sebagai asupan nutrisi. Dalam sehari, Mutia bisa mengonsumsi 3 - 4 gelas kental manis. 

Tak jauh berbeda dengan Mutia, Tegar yang waktu ditemui berada nyaman dalam gendongan ibunya pun seringkali mengonsumsi kental manis.

"Kalau lagi nggak punya uang ya nggak dikasih apa-apa. Kalau lagi ada beli susu yang sachetan aja di warung,” pengakuan ibu dari Tegar. 

Dalam sehari, Tegar pun bisa minum kental manis 3 - 4 kali dalam sehari. Saat Yuli menjelaskan mengenai kandungan kental manis bahwa kental manis bukanlah minuman susu untuk anak, keluarga Mutia dan Tegar kompak menjawab tidak tahu. 

Menurut mereka, kental manis adalah susu seperti yang diiklankan melalui televisi, rasanya manis disukai anak dan harganya terjangkau. Mirisnya, asupan yang salah itu tidak hanya dialami Mutia dan Tegar.

"Ada banyak anak-anak lain yang bernasib sekadar kenyang, tanpa mereka tahu bahwa yang mereka makan dapat menjadi racun bagi tubuh mereka kelak," tutur Yuli Supriati. (day)