Kisah Serdadu 'Al-Maun' di Lombok

Kegiatan Muhammadyah Disaster Management Center (MDMC) Indonesia untuk bencana alam di Palu
Sumber :
  • Twitter.com/@MDMCIndonesia

VIVA – Ketulusan para relawan meninggalkan jejak mendalam di relung hati para korban bencana gempa bumi di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Saat mereka tak punya apa-apa, sedih dan terpuruk, ada orang-orang tak dikenal dari tempat nun jauh yang dengan tulus memperhatikan, mengobati, dan menyalurkan makanan.

Tak berlebihan jika banyak warga Lombok kemudian menganggap para relawan sebagai pahlawan mereka. Jasa besar para relawan, seperti yang ditunjukkan oleh tim dari Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), tidak bakal dilupakan penduduk setempat.

"Setelah para relawan bergeser ke wilayah-wilayah lain, banyak warga dan anak-anak yang merasa kehilangan ditinggalkan relawan," kata Sekretaris Muhammadiyah Disaster Management Center NTB, Yudhi Lestanata.

Malam belum lama tiba di langit Lombok Utara. Tampak beberapa warga terlihat asyik melepas lelah. Ada yang sembari menyantap kudapan, ada pula yang tertidur pulas.

Sepelemparan batu dari mereka, terlihat beberapa relawan ikut beristirahat. Namun di tengah asyiknya menikmati waktu rehat, peristiwa tak diharapkan kembali menyapa. Bumi berguncang-guncang. "Gempaaa," seru beberapa warga.

Saking paniknya, ada yang sedang tertidur seketika bisa langsung berdiri lari tunggang langgang tanpa arah. Ada juga warga yang kakinya tengah terserang asam urat akut ikut lari meloncat selamatkan diri. Semua panik.

Relawan turut panik meski sembari ikut menenangkan warga. Walau terlatih, tetap saja rasa khawatir menyelinap.

Apalagi semenjak tiba untuk tugas kemanusiaan, Lombok terus dikocok gempa susulan, setelah sebelumnya gempa berkuatan 7 pada Skala Richter, 5 Agustus 2018, membuat ratusan nyawa melayang, meluluhlantakan ribuan bangunan. Puluhan ribu orang pun mengungsi karena ketakutan, mulai dari warga setempat, wisatawan lokal, hingga turis mancanegara. Memori mencekam, lantas melekat kuat.

Gempa mengguncang Lombok

Magnet Turis

Sebelum bencana gempa menggetarkan Bumi Lombok, wilayah ini terkenal akan ingar bingar pariwisata eksotis dan kereligiannya. Pantai-pantai nan elok mampu jadi magnet wisatawan hingga mereka rela menghabiskan banyak uang di sana.

Namun setelah gempa terjadi, wilayah berjuluk Pulau Seribu Masjid itu seakan seperti kota mati, penuh reruntuhan bangunan. Ketua MDMC Kalibening Banjarnegara, Joko, yang bertugas di Melepahsari, Kayangan, Lombok Utara, memberi kesaksian yang menyedihkan.

Di tempatnya bertugas, nyaris tak ada bangunan baik rumah warga maupun tempat ibadah serta fasilitas umum yang masih utuh. Semua rusak berat. Lombok Utara merupakan wilayah terdampak paling parah akibat gempa bumi. Di kabupaten ini 467 warganya meninggal dunia.

"Kondisi itu membuat warga harus mendirikan tenda-tenda di sekitar rumah mereka untuk tinggal sementara," kata Joko.

Tim relawan langsung kerja keras, dengan segenap kemampuan dan keahlian masing-masing. Mulai dari membangun fasilitas Mandi Cuci Kakus (MCK), membersihkan puing-puing reruntuhan gempa, dan membangun tempat tinggal darurat.

Tak hanya itu, banyak pula relawan yang sigap memberi pemeriksaan dan pengobatan medis, sampai memberikan pendampingan psikososial terhadap warga yang terdampak. Itu sebabnya para warga merasa beruntung dapat perhatian dari para relawan.

Siang dan malam terus membantu, tim relawan pun merekam jelas sejumlah kisah pilu lainnya. Seperti yang disampaikan seorang fotografer kebencanaan MDMC, Pepi Perdiansyah.

Aktivitas MDMC di lokasi bencana

Sejak pertengahan Agustus lalu Pepi sudah berada di lokasi bencana gempa Lombok. Sebagai relawan kebencanaan, Pepi selalu terlibat untuk mengabadikan tiap peristiwa pasca-bencana.

Pada 1 September lalu, Pepi bertemu seorang guru pegawai negeri sipil, Junaidi namanya. Junaidi merupakan kepala rumah tangga bagi keluarga kecil. Dia juga bekerja sampingan menjadi peternak ayam petelur.

Usai gempa melanda, seluruh hartanya sirna. Beruntung sang istri Kartini dan kedua anaknya Abdul Hafidz dan Maula AlKholifi selamat. "Rumahnya rata dengan tanah, tak menyisakan tiang satupun," kata Pepi.

Kondisi Junaidi, diceritakan, langsung berubah 180 derajat. Peternakan yang semula dikelola hancur tak berbekas. Hanya gelar guru yang melekat saat semua harta bendanya lenyap.

Di saat itulah, kata Pepi, dia bersama sejumlah rekan relawan lain memberi bantuan dan yang terpenting, semangat untuk tetap hidup. Pepi sadar, saat itu mereka sangat membutuhkan dukungan.

Hingga akhirnya ketulusan para relawan mampu membekas hebat di relung hati para korban bencana gempa termasuk Junaidi.

Pelita Bencana

Kisah Junaidi serta warga korban bencana merupakan sketsa kecil yang acap ditemui para relawan MDMC. Bukan kali ini saja mereka terjun ke lokasi bencana, sebab sepak terjangnya sebagai lembaga kemanusiaan sudah lama dilakukan.

Tercatat tim gugus tugas jelmaan Muhammadiyah yang dirintis sejak 2007 dan dikukuhkan pasca muktamar 2010 ini selalu aktif menjadi salah satu garda terdepan tiap peristiwa bencana melanda Tanah Air.

Termasuk bencana gempa dan tsunami Palu yang terjadi baru-baru ini. Di saat banyak pihak termasuk pemerintah kesulitan akses masuk ke sana, 12 jam pasca bencana MDMC sudah berada di jantung lokasi.

"Akses jalannya memang sangat susah, maka kita tidak bisa cepat datang ke lokasi bencana (Palu). Tapi saat ini MDMC bisa mempersingkat waktu di mana ada bencana di Indonesia kurang dari 12 jam MDMC sudah di lokasi," kata Wakil Ketua MDMC atau Lembaga Penanggulan Bencana Muhammadiyah Pusat, Rahmawati Husein kepada VIVA.

Wakil Ketua MDMC atau Lembaga Penanggulan Bencana Muhammadiyah Pusat, Rahmawati Husein

Di Palu, MDMC banyak berkontribusi. Mereka menerjunkan 227 relawan. Pelayanan kesehatan yang ditawarkan mampu menjangkau 3.473 jiwa, dapur umum mampu menjangkau 12.255 jiwa, operasi SAR Muhammadiyah 23 jenazah, distribusi logistik menjangkau 20.597 jiw, membangun 400 unit hunian sementara dan pelayanan psikososial terhadap 486 jiwa.

Bisa cepatnya MDMC menjangkau lokasi bencana karena mereka punya pembagian wilayah yang cermat. Untuk Indonesia Timur, yang bertanggung jawab pertama kali adalah MDMC Jawa Timur, termasuk kasus Lombok beberapa waktu lalu.

Sedangkan di bagian tengah adalah MDMC Jawa Tengah. Dan untuk wilayah bagian barat, yakni MDMC yang ada di Jakarta, termasuk Sumatera Selatan. Semua tim baik kesehatan dan divisi lain 24 jam siap diterjunkan kapan pun.

MDMC memiliki cabang dan satuan tugas di seluruh Indonesia, tepatnya di 28 provinsi. "Kami punya 2.000-an relawan yang sudah memiliki sertifikasi dan siap dikirim kemanapun jika terjadi bencana. Jambore relawan di Malang tahun 2017, tercatat kita memiliki 3.000 relawan. Kita punya divisi diklat baik dari SAR, kesehatan, dan lain-lain," kata Rahmawati menambahkan.

Potret inilah yang kemudian dianggap inayat bagi para korban bencana. Hingga para relawan ini layak menyandang sebagai pahlawan kemanusiaan.

Bahkan besarnya peran MDMC mendapat respon positif dari pemerintah dengan mengganjar Penghargaan Ormas 2018 Bidang Penanggulangan Bencana dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Selasa 6 November 2018 lalu. Penghargaan diberikan langsung oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.

Semangat Al-Maun

MDMC merupakan lembaga bentukan Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia. Walau baru dikukuhkan 2010, tetapi mereka sudah aktif memberi bantuan dalam aktivitas kebencanaan sejak 1917, ketika Gunung Kelud meletus.

Muhammadiyah sadar, mereka butuh Lembaga Penanggulangan Bencana lantaran mereka punya banyak aset di berbagai penjuru negeri. Mulai dari sekolah, perguruan tinggi, hingga rumah sakit.

"Jika tidak ada mitigasi dan kesiap-siagaan maka jika terjadi gempa akan mengalami kerugian yang cukup banyak termasuk jiwa. Misalnya bangun sekolah, jika tidak tahan gempa maka siswanya juga terancam. Aset tetap harus dijaga sesuai ancaman bencana termasuk kesadaran semakin kesiap-siagaan."

"Misalnya RS PKU Muhammadiyah saat gempa 2006 itu tidak roboh tapi melayani pasien 3.000 dalam waktu bersamaan, sangat sulit dilakukan," kata Rahmawati lagi.

Bukan anggota kelompoknya saja yang menjadi target MDMC. Berangkat dari semangat teologi Al-Ma'un, mereka mengaku tak hanya sekadar menolong anak-anak yatim atau orang miskin saja. Tetapi mereka yang tidak terperhatikan dan membutuhkan bantuan. Serta masyarakat korban bencana yang mengalami keterpurukan.

Relawan MDMC dalam penanganan gempa di Palu

Teologi Al-Maun sendiri yang mendasari berdiri dan berkembangnya Muhammadiyah. Teologi ini didasarkan pada Alquran yang seringkali diterjemahkan dalam tiga pilar kerja, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pelayanan sosial.

Wanita yang juga berprofesi sebagai dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini juga menyampaikan, mereka punya tim kesehatan di tiap rumah sakit milik Muhammadiyah. Para tim kesehatan itu bisa kapan saja 'diaktivasi' untuk segera diterjunkan ke lokasi bencana.

Saking banyaknya tim kesehatan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BPNB) acap kali sering berkomunikasi soal berapa tim kesehatan yang bisa diterjunkan pada sebuah bencana. Karena memang sangat terbantukan oleh MDMC.

Tak cuma terbatas teritori dalam negeri, MDMC juga sering ambil bagian dalam beberapa kasus kemanusiaan di luar negeri.

"Tahun 2009 kita kirim MDMC ke Palestina, saya dulu LO pemerintah Indonesia ke Nepal, ke Palestina, kalau tim MDMC yang pertama kali bersama dengan pemerintah ke Nepal, bahkan di Filipina kita dapat penghargaan pemerintah setempat."

"Kita juga bantu Rohingnya dalam dua tahun terakhir ini. Bangladesh dan Myanmar juga masih terus berlangsung," lanjut Rahmawati.

Soal anggaran untuk membantu bencana, MDMC mendapatkan dana dari penggalangan yang diakomodir Lazismu --lembaga zakat infak dan sedekah bentukan Muhammadiyah.

Untuk gempa Lombok saja, MDMC sudah mengucurkan dana sekira Rp14 miliar yang didapat dari Lazismu. Dana itu belum termasuk dengan biaya operasional tim medis dan obat-obatan.

"Sekitar Rp21 miliar. Biaya terbanyak adalah untuk respons dan transisi seperti membangun hunian sementara."

Dalam hal penanganan bencana, mereka tak hanya sekadar sampai pada status tanggap darurat. Mereka juga terus mengawal sampai proses recovery, bahkan sampai masyarakat bisa menanam.

"Kenapa itu dilakukan sampai tuntas, karena nanti jangan sampai ada pertanyaan, ‘Kok MDMC cuma sampai tanggap darurat saja?’ Padahal Muhammadiyah itu hadir selalu di tengah masyarakat. Kan ada pengurusnya sampai tingkat desa, bahkan tingkat yang paling bawah," ungkap dia. (ren)