Vonis Bos First Travel dan Misteri Uang Jemaah

Tiga terdakwa penipuan bermodus umrah, First Travel.
Sumber :

VIVA – Andika Surachman dan Anniesa Hasibuan hanya bisa tertunduk lemas ketika majelis hakim mengetuk palu vonis hukum atas keduanya. Sidang yang dipimpin hakim ketua Sobandi itu menyatakan suami istri pemilik First Travel itu terbukti bersalah melakukan penipuan, penggelapan dan pencucian uang.

Dalam risalah putusan setebal 1.300 halaman itu, majelis hakim menjatuhkan hukuman 20 tahun penjara untuk Andika Surachman dan 18 tahun penjara untuk Anniesa Hasibuan. Masing-masing juga dijatuhi denda Rp10 miliar subsider satu tahun empat bulan kurungan.

"Mengadili, menyatakan terdakwa satu Andika Surachman dan terdakwa dua Anniesa Hasibuan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan penipuan dan pencucian uang. Menjatuhkan hukuman penjara kepada para terdakwa masing-masing 20 tahun dan 18 tahun," kata Ketua Majelis Hakim Soebandi saat membacakan amar putusan di Pengadilan Negeri Depok, Rabu, 30 Mei 2018.

Sedangkan mantan Direktur Keuangan First Travel, Siti Nuraida alias Kiki Hasibuan, dalam putusan yang dibacakan terpisah, divonis 15 tahun penjara dan denda Rp5 miliar subsider satu tahun bui, karena juga terlibat dalam kasus penipuan dan pencucian uang.

Ketiga bos First Travel itu sebelumnya didakwa melakukan penipuan perjalanan umrah dan pencucian uang yang berasal dari setoran jemaah umrah. First Travel sejak tahun 2011 menyelenggarakan promo paket perjalanan umrah murah, dengan ketentuan pemberangkatan dilakukan setahun kemudian, setelah biaya perjalanannya dibayar lunas calon jemaah.

Salah satu promo umrah murah yang ditawarkan First Travel tahun 2017 adalah dengan hanya membayar biaya Rp14.300.000 per jemaah. Biaya itu meliputi fasilitas perjalanan ibadah umrah selama 9 hari dengan penginapan hotel bintang tiga.
 
Tak mengherankan, jika peminat promo umrah murah ini membludak. Berdasarkan data yang disampaikan jaksa penuntut umum, pendaftar biro perjalanan umrah First Travel mencapai 93.295 calon jemaah. Adapun total uang calon jemaah yang telah disetorkan ke First Travel senilai Rp1,3 triliun.

First Travel sejatinya telah memberangkatkan 29.985 jemaah pada periode 16 November 2016-14 Juni 2017. Sisanya, sebanyak 63.310 orang calon jemaah umrah yang telah membayar lunas dengan jadwal pemberangkatan bulan November 2016 hingga bulan Mei 2017 tidak diberangkatkan.

Celakanya, uang setoran calon jemaah umrah yang gagal berangkat sebesar Rp905,3 miliar juga tak kunjung dikembalikan para terdakwa.

Dalam persidangan terungkap, bahwa uang-uang jemaah umrah yang gagal berangkat itu sebagian ada yang digunakan untuk menutupi kekurangan pembayaran jemaah sebelumnya. Kemudian, ada yang digunakan untuk keperluan pribadi, membeli barang-barang mewah, kendaraan dan properti.

Sementara itu, atas semua aset yang disita pada perkara penipuan dan pencucian uang Firs Travel, majelis hakim menyatakan seluruh aset milik ketiga terdakwa maupun First Travel akan dirampas untuk negara. Bagi korban yang ingin menarik asetnya agar mengajukan gugatan terpisah.

Kuasa hukum Andika-Anniesa, Ferdinand, menyatakan keberatan dengan putusan majelis hakim. Dalam waktu dekat, kubu terdakwa Andika-Anniesa akan mengajukan banding. Di sisi lain, jaksa penuntut umum masih pikir-pikir atas putusan tersebut.

"Karena kuasa hukum terdakwa banding dan jaksa masih pikir-pikir kami berikan waktu tujuh hari," kata hakim ketua persidangan, Sobandi.

Nasib Korban

Tina, korban jemaah umrah First Travel, mengaku kecewa dengan putusan majelis hakim. Baginya, putusan itu tidak menyelesaikan persoalan kerugian jemaah yang gagal berangkat. Apalagi, hakim memutuskan untuk merampas semua aset First Travel untuk diserahkan kepada negara.

Ia berharap, hakim dapat berbuat bijak dengan menyerahkan sepenuhnya aset terdakwa untuk para jemaah. Sebab jika sebagian saja yang diserahkan, dikhawatirkan tidak akan mencukupi, mengingat jumlah korbannya mencapai ribuan jemaah.

"Ini kan duit umat, buat ibadah. Tidak semua yang jadi jemaah orang mampu, banyak yang tidak mampu. Kami nyicil pelan-pelan," kata Tina, salah seorang korban yang mengikuti jalannya persidangan.

Tina dan sejumlah korban lainnya meminta keadilan atas kasus ini, sehingga bisa melanjutkan ibadah di Tanah Suci. "Jemaah maunya cuma ibadah, pergi umrah lagi. Nanti kami akan coba banding," tegasnya.

Lain halnya dengan Pengurus Pengelolaan Aset Korban First Travel (PPAKFT), yang menyampaikan keberatannya ditunjuk oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), untuk menerima sekaligus mengkoordinir aset First Travel kepada para korban jemaah umrah.

Keberatan itu disampaikan langsung saat sidang vonis terhadap para terdakwa di Pengadilan Negeri Depok, Rabu 30 Mei 2018. Kuasa hukum korban First Travel, TM Luthfi Yazid mengatakan, alasan keberatan itu diantaranya tidak adanya transparansi soal aset-aset First Travel.

Padahal, PPAKFT, kata Luthfi, telah meminta secara tertulis daftar atau data barang sitaan kepada penyidik Bareskrim terkait aset yang disita, namun hingga kini belum juga jelas.

Penjelasan yang disampaikan JPU pun tak jauh berbeda. Misalnya, perihal aset kantor First Travel di Radar Auri Depok maupun rumah Andhika Surachman di Sentul, Bogor. JPU menjelaskan bahwa aset-aset tersebut adalah milik orang lain.

"Menurut kami ini adalah pernyataan sepihak, yang mestinya diklarifikasi dalam persidangan. Sebab itu jika terjadi pengalihan atas aset selama perkara ini dalam proses litigasi, maka itu namanya pengalihan ilegal dan sepihak," kata Luthfi.

Ia menilai, jaksa sebagai eksekutor negara mestinya tidak lepas tangan dengan hanya menyerahkan aset First Travel begitu saja kepada PPAKFT. Sebab, PPAKFT berpeluang digugat dan dituntut, apalagi aset yang tercantum dalam surat tuntutan JPU, menurut perhitungan PPAKFT, hanya sekitar Rp20 miliar sampai Rp25 miliar.

"Jumlah itu jika dibagikan kepada sekitar 63 ribu jemaah, berarti setiap jemaah hanya dapat Rp200 ribuan. Padahal uang jemaah yang masuk ke perusahaan itu diperkirakan hampir mencapai Rp1 triliun," ungkapnya.

Atas dasar itu, PPAKFT meminta perlindungan hukum kepada Kapolri dan Jaksa Agung, serta mendesak DPR membentuk Pansus First Travel, agar kasus ini dibongkar sampai ke akar-akarnya.

Jaksa yang menuntut perkara ini, Heri Jerman sempat terkejut dengan penolakan ini. Namun, Ia membantah tudingan yang menyebut pihaknya tidak transparan soal jumlah aset yang disita dari bos First Travel. Semua aset yang disita, kata dia, jumlahnya lebih dari 500 item dan masih berada di gudang alat bukti.

"Kalau mau hitung kita harus taksasi dulu. Saya tidak bisa katakan nilainya berapa. Tapi jumlah barang semuanya sesuai dengan hasil sita dari penyidik. Dan hakim juga katakan dari sita penyidik itu jadi alat bukti yang sah dan kita pastikan tidak ada yang tercecer. Dan sampai saat ini ada di gudang," terang Jaksa Heri.

Bisnis Umrah Berbenah

Bagaimana pun, putusan hukum kasus First Travel ini sudah diketok. Meskipun putusan berpotensi digugat banding, setidaknya putusan di tingkat pertama ini patut dihormati. Sekaligus menjadi pelajaran berharga bagi pelaku-pelaku bisnis perjalanan umrah agar hati-hati dalam mengelola uang jemaah umrah.

Terlebih, kasus penipuan perjalanan umrah ini tak hanya dialami First Travel. Pasca terkuaknya skandal penipuan jemaah umrah First Travel, bermunculan kasus penipuan berkedok biro perjalanan umrah.

Sebut saja biro perjalanan umrah Hannien Tours yang gagal memberangkatkan 4.126 jemaah, dengan kerugian mencapai Rp37,8 miliar. Kemudian, ada juga Abu Tours yang gagal berangkatkan 86.720 orang jamaah, dengan kerugian mencapai Rp1,4 triliun.

Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Agama, Mastuki mengatakan, Kemenag menghormati proses hukum yang berjalan terkait kasus penipuan jemaah umrah, baik oleh biro perjalanan First Travel maupun biro perjalanan umrah lainnya. Baginya, pengadilan merupakan solusi paling adil dalam menyelesaikan masalah ini.

"Ini sudah dilakukan, vonis sudah dijatuhkan dan itulah yang berbaik dari semua proses ini," kata Mastuki kepada VIVA, Rabu, 30 Mei 2018.

Kemenag sendiri lanjut Mastuki, sudah melakukan dua langkah untuk mengantisipasi praktik penipuan jemaah umrah tak terulang lagi. Pertama, membenahi regulasi yang berkaitan dengan perjalanan umrah dengan membatasi waktu keberangkatan paling lambat enam bulan.

Kedua, menetapkan besaran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Umrah Referensi (BPIU Referensi) sebesar Rp20 juta (angka ini dinamis tergantung fluktuasi Rupiah ke Dolar AS). Ketetapan ini untuk menghindari spekulasi dari penyelenggara perjalanan ibadah umrah (PPIU) terkait promo-promo umrah dan sebagainya.

"Jadi hak-hak jemaah ini sejak awal sudah clear, dapat layanan apa itu semua sudah dipantau," ujarnya.

Disamping itu, Kemenag akan mengintegrasikan Sistem informasi pengawasan terpadu umroh dan haji (Sipatuh) dengan pemanfaatan NIK (Nomor Induk Kependudukan), data kependudukan dan KTP Elektronik dalam pelayanan jemaah haji dan umrah.

 Kemenag juga bekerjasama dengan Komite Akreditasi Nasional (KAN) Badan Standarisasi Nasional (BAN) untuk mensertifikasi semua biro perjalanan umrah atau PPIU yang ada. Upaya ini dilakukan agar pelayanan umrah lebih profesional dan kejadian seperti First Travel tak 'berseri' lagi.

Di luar itu, Mastuki mengatakan Kemenag tengah mewacanakan perbaikan tata kelola penyelenggaraan ibadah umrah. Sebabnya, umrah selain ada nuansa ibadah, dalam beberapa tahun terakhir ini umrah nyatanya telah menjadi industri bisnis yang menggiurkan.

Salah satunya opsi yang diwacanakan adalah dengan menggunakan prinsip syariah. Artinya, semua dana yang terkumpul dari calon jemaah umrah dikelola dengan prinsip-prinsip syariah. Yaitu adil, tidak mengambil yang bukan haknya, penyelenggara umrah harus amanah, dan pengumpulannya di bank syariah.

"Ini sudah ada pembicaraan dengan asosiasi umrah, agar jemaah tidak langsung ke rekening PPIU seperti saat ini, jadi nanti masuk rekening khusus, ya seperti account jemaah haji. Ini masih wacana yang kita coba dari asosiasi umrah ada masukan begitu, agar dikelola bersama," ungkapnya.