Mengapa Perlu Renegosiasi Kontrak Tambang

Aktivitas tambang batu bara
Sumber :
  • REUTERS/David Stanway

VIVAnews - Pemerintah terus mengupayakan renegosiasi kontrak tambang, termasuk kontrak PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara, untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dirjen Mineral dan Batu bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Thamrin Sihite, mengatakan renegosiasi kontrak mencakup enam hal yang antara lain meliputi luas wilayah, royalti, divestasi, jasa nasional, dan jangka waktu. "Kami harus merayu para kontraktor tambang," kata Thamrin.

Pemerintah, kata dia, ingin agar renegosiasi juga bisa membuat perusahaan tambang membayar royalti dengan benar. Berdasarkan PP No.13 Tahun 2000, tarif royalti untuk tembaga adalah 4 persen, emas 3,75 persen, dan perak 3,25 persen. “Pemerintah ingin sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” ujarnya.

Pengamat minyak dan pertambangan Kurtubi menyambut baik rencana renegosiasi ini. Bagi dia, selama ini, pengelolaan pertambangan sudah menyimpang jauh dari konstitusi. "Penerimaan APBN dari tambang umum masih relatif sangat kecil. Padahal jumlah produksi ekspor dan harga dari komoditas tambang sangat tinggi," katanya. "Karena itu besaran royalti harus direnegosiasi agar lebih adil dan sesuai dengan amanat konstitusi."

Dia menjelaskan, pengelolaan pertambangan umum masih menggunakan model kontrak karya. Padahal kontrak ini merupakan kelanjutan dari sistem konsesi zaman kolonial Belanda yang didasarkan atas Indische Mijnwet 1899.

Kemudian, lanjutnya. dengan UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara masih dimungkinkan untuk mengamandemen kontrak karya dan perjanjian karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) melalui pasal 169 B dan pasal 171," katanya

Maka itu, bagi Kurtubi, manajemen penambangan sepenuhnya di tangan investor. Sedangan pemerintah tidak mempunyai alat atau mekanisme untuk mengontrol produksi, biaya, harga jual, dan pemasaran produk tambang.

"Bandingkan dengan model production sharing contract di sektor migas, di mana negara memperoleh bagian 85 persen. Di situ negara mempunyai alat atau mekanisme kontrol [melalui BP Migas)]terhadap semua investor," ujar Kurtubi.

Anggota Komisi VII DPR, Chandra Tirta Wijaya, dalam seminar mengenai Renegosiasi Kontrak Pertambangan, di Gedung DPR, Jakarta, Kamis mengatakan bahwa penerimaan pemerintah dari pajak, royalti, dan dividen perusahaan tambang masih sangat kecil. Dari PT Freeport Indonesia misalnya, jauh lebih rendah dari yang diperoleh perusahaan asal AS ini.

Menurutnya sejak 1996 pemerintah hanya menerima US$479 juta, sedangkan Freeport menerima US$1,5 miliar. Kemudian, pada 2005, pemerintah menerima US$1,1 miliar dan Freeport sudah mencapai US$4,1 miliar.

Menurut dia, Freeport sejauh ini hanya memberi royalti satu persen untuk emas, dan 1,5-3,5 persen untuk tembaga. "Royalti ini jauh lebih rendah dari negara lain yang biasanya 6 persen untuk tembaga dan 5 persen untuk emas," katanya.

Tanggapan Freeport

Dalam rencana renegosiasi kontrak karya ini, pemerintah mengklaim, 65 persen perusahaan tambang telah mengeluarkan komitmen siap. "Kecuali Freeport dan Newmont (PT Newmont Nusa Tenggara) yang belum," ujar Thamrin.

Meski demikian, pemerintah tetap berusaha secara persuasif untuk mengajak dua perusahaan tambang ini agar mau melakukan negosiasi ulang.

Menanggapi hal itu, Freeport menyatakan akan tetap menghormati dan mematuhi ketentuan dari kontrak karya yang ditandatangani pemerintah dan Freeport pada Desember 1991.

Juru bicara Freeport, Ramdani Sirait, dalam surat elektronik kepada VIVAnews.com menyatakan bahwa perusahaan telah menjalankan operasi di Indonesia selama lebih dari empat dasawarsa.

"Kontribusi kami pun kepada pemerintah telah mencapai 12 miliar dolar Australia (sekitar Rp107 triliun)," katanya. "Kami secara konsisten akan menghormati semua kontrak yang ada."

Dengan kontribusi seperti ini, Freeport yang mengelola Tambang Grasberg, Timika, Papua, yakin bahwa kontrak 1991 itu cukup adil bagi setiap pihak, termasuk untuk pemerintah. Bahkan, dia mengatakan, jika dibanding dengan negara penghasil utama bahan tambang lainnya di dunia, Indonesia masih beruntung. Sementara itu, Newmont belum memberi jawaban resmi atas masalah ini.