Inklusivisme Islam ala Cak Nur, Sebuah Keniscayaan di Tengah Keberagaman

Foto: Kalimahsawa.ID
Sumber :
  • vstory

VIVA – Pada umumnya komunitas agama-agama cenderung menganut eksklusivisme, mereka yang menganut inklusivisme adalah minoritas. Eksklusivisme didasarkan pada sebuah klaim kebenaran yang ada pada setiap agama yang menganggap hanya pandangan dan kelompok agamanyalah yang paling benar. Paham ini telah meninggalkan jejak sejarah kelam, begitupun dalam sejarah agama, di mana agama tidak lagi bernuansa pencerahan-pembebasan, melainkan bercorak konflik-kekerasan.

Atas dasar kenyataan tersebut kaum pluralis menjadi antitesa terhadap eksklusivisme agama dan mengkampanyekan pemahaman agama yang lebih inklusif. Pemahaman bahwa kebenaran tidak hanya milik satu agama saja, melainkan juga terdapat pada agama yang lain. Pemahaman ini acapkali disalahartikan pada pandangan bahwa semua agama sama. Padahal tidak demikian, mengutip pandangan Abdullah Yusuf Ali (w. 1953), tentu agama Yahudi, Nasrani dan Islam berbeda, namun persamaan dari tiap agama ini terletak pada kenyataan bahwa setiap agama membawa ajaran untuk pasrah kepada Tuhan yang secara genealogis diprakarsai oleh Nabi Ibrahim, Bapak Spiritual umat manusia.

Cak Nur dan Teori Inklusivisme

Teori inklusivisme (salah satu tipologi dari teori eksklusivisme-inklusivisme-pluralisme), pada awalnya diperkenalkan oleh Alan Race sebagai penjelasan standar tentang bagaimana Kristen memandang agama lain. Selanjutnya teori ini berkembang luas di kalangan sarjana Muslim, termasuk di Indonesia.

Nurcholish Madjid (w. 2005) atau yang kita kenal Cak Nur, merupakan tokoh utama yang mengembangkan teori ini dalam menghidupkan inklusivisme Islam. Cak Nur merupakan intelektual Muslim yang berjasa besar memperjuangkan pemikiran Islam yang inklusif dalam bingkai ke-Indonesia-an yang dapat kita nikmati sampai hari ini.

Cak Nur berpandangan bahwa manusia dan kelompoknya memiliki kepercayaan akan adanya Wujud Maha Tinggi dan mereka selalu mengembangkan cara untuk memuja dan menyembah-Nya. Percaya kepada suatu Tuhan adalah hal yang dikatakan taken for granted karena merupakan hal yang bersifat manusiawi. Pada perkembangan selanjutnya, keberagaman latar belakang seseorang menyebabkan beragamnya agama. Namun menurut Cak Nur, pangkalnya tetap satu, yaitu meyakini adanya Tuhan Yang Maha Tinggi.

Arti Islam

Dalam memahami sikap keagamaan, Cak Nur berpandangan bahwa pasrah kepada Tuhan yang disebutkan di dalam QS. Ali Imran/3: 19, yaitu bahwa agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dapat diartikan khusus dan umum. Khusus yaitu agama Islam adalah agama pasrah kepada Tuhan (Allah Swt). Sedangkan makna umum dari pasrah kepada Tuhan adalah suatu semangat ajaran yang menjadi karakteristik pokok semua agama yang benar.

Kata Islam diartikan dalam makna generiknya, Cak Nur mengatakan bahwa sebaik-baiknya agama di sisi Allah adalah semangat mencari kebenaran yang lapang, toleran, tanpa kefanatikan dan tidak membelenggu jiwa.

Paradigma Tauhid

Dalam menjelaskan makna Tauhid, Cak Nur menyebutkan bahwa beberapa ayat Al-Qur’an seperti; QS. al-Zumar/39: 38, QS. al-’Ankabut/29: 63, QS. al-Zukhruf/43: 9, QS. Luqman/31: 25 memberikan kesimpulan bahwa Tauhid tidak hanya cukup dan tidak hanya berarti percaya kepada Allah saja, melainkan mencakup pula pengertian yang benar tentang siapa Allah. Dalam pemahaman Islam, Tauhid tidak dimulai dengan kesadaran akan percaya kepada Allah, tapi dimulai dengan kesadaran untuk tidak percaya kepada kepercayaan-kepercayan palsu untuk kemudian memurnikan kepercayaan hanya kepada Allah. Dalam artian dimulai dengan la Ilah, kemudian puncaknya illa Allah.

Orang Arab sebelum Islam mempercayai bahwa Tuhan (Allah menurut mereka) yang menciptakan dan mengatur alam, tetapi mereka tidak disebut kaum beriman atau bertauhid, sebaliknya disebut kaum musyrik karena menyekutukan Allah dengan kepercayaan-kepercayaan (Ilah) palsu tadi. Justru orang Arab saat itu takut bahwa Tuhan yang mereka yakini tergusur dan tergantikan oleh ajaran Tauhid yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Itulah mengapa mereka menutup diri dan menentang.

Cak Nur menjelaskan, bahwa masyarakat yang dibangun atas dasar Tauhid adalah yang memungkinkan adanya saling tukar pikiran, menyampaikan pesan tentang kebenaran dan kebaikan; dengan kata lain terbuka. Dengan adanya sikap terbuka memungkinkan terdapat peluang untuk diterima dan diikuti bersama. Cak Nur menggunakan penjelasan dari QS. al-Zumar/39: 17-18. Cak Nur juga menambahkan, bahwa masyarakat yang sebaliknya adalah masyarakat tertutup dan tidak adil seperti dijelaskan pada QS. al-Dzariyat/51: 53.

Relasi Islam dan Agama Terdahulu

Dalam menguraikan relasi Islam dengan agama terdahulu; Yahudi dan Nasrani (Ahli Kitab), Cak Nur mengatakan bahwa keseluruhan isi Al-Qur’an bahkan semua kitab suci adalah pesan Allah kepada umat manusia. Al-Qur’an adalah pesan terakhir dan dalam kaitannya dengan pesan-pesan sebelumnya dalam kitab-kitab suci terdahulu, Al-Qur’an sebagai penerus, pengoreksi, pelindung dan penyempurna. Maka orang-orang yang menerima pesan dari Al-Qur’an diwajibkan untuk percaya atau beriman kepada kitab-kitab masa lampau.

Cak Nur menyebutkan bahwa terdapat pesan yang sama pada ketiga agama; Islam, Yahudi dan Nasrani, yaitu pada saat Al-Qur’an menggunakan kata al-Washiyyah atau wasiat, yaitu untuk bertakwa kepada Allah (pasrah kepada Tuhan), tampak relasi ketiganya dalam Al-Qur’an.

Cak Nur mengatakan bahwa agama Yahudi pada dasarnya mengajarkan al-Islam, sebagaimana ditegaskan di dalam QS. al-Maidah/5: 44 mengenai fungsi kitab suci Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa untuk Bani Israil. al-Islam sebagai ajaran Nabi Musa yang kemudian disebut dengan Yahudi juga bisa disimpulkan dari pernyataan Fir’aun ketika akan tenggelam di laut, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Yunus/10: 90. Begitupun dengan Nasrani, Cak Nur menyebutkan, bahwa Nabi Isa (Yesus) atau al-Masih (Kritus) datang dengan membawa ajaran pasrah kepada Tuhan, seperti yang disebutkan dalam QS. Ali Imran/3: 52 dan QS. al-Maidah/5: 111.

Tampak inti semua agama yang benar yaitu yang mengajak untuk pasrah kepada Tuhan. Maka, dapat dipahami, bahwa Islam menjadi landasan universal kehidupan manusia yang berlaku untuk setiap orang, kapan pun dan di mana pun.

Bahkan lebih jauh lagi, Cak Nur memaknai Ahli Kitab (kaum yang memiliki kitab suci) sebagaimana yang dikemukakan Rasyid Ridha (w. 1935), bahwa Ahli Kitab tidak hanya Yahudi dan Nasrani saja, tetapi mencakup Hindu, Budha, dan Pengikut Konfusius. Karena secara kontekstual, ketika Al-Qur’an turun (berdialektika-komunikatif dengan realitas), agama-agama ini belum dikenal oleh masyarakat Arab pada saat itu, sehingga tidak disebutkan dalam Al-Qur’an.

Diskusi dan Kritik

Dari pemikiran Cak Nur ini, banyak hal yang dapat menjadi khazanah intelektual untuk kemudian dikaji dan didiskusikan. Seperti kata pepatah; “tak ada gading yang tak retak”. Ketika suatu pemikiran diucapkan, maka akan ada pemikiran lain yang mengkritisi bahkan membantah. Begitu pula dengan pemikiran Cak Nur ini.

Tak bisa dipungkiri, bahkan sampai pada pengklaiman bahwa pemikiran Cak Nur ini dapat mengacak-acak akidah juga terdapat beberapa hal yang kontradiktif, seperti misalnya terkait Ahli Kitab, pada satu sisi Cak Nur menolak kaum pagan seperti musyrikin Arab, tapi pada sisi yang lain memasukkan agama Hindu, Budha dan Konfusius yang notabene agama ardhi ke dalam kelompok agama samawi (Ahli Kitab).

Selain itu, bukan hanya mengkritik pemikiran Cak Nur, beberapa kalangan menyebut tipologi Alan Race (Eksklusivisme-Inklusivisme-Pluralisme) yang diadopsi oleh Cak Nur ini memiliki cacat metodologis dan terkesan subjektif karena hanya menggunakan paradigma agama tertentu (mislanya Islam).

Kesimpulan

Gagasan utama Cak Nur dalam membangun inklusivisme agama tak bisa ditolak. Yaitu menekankan intelektualitas pemahaman terhadap pesan Tuhan dalam semua kitab (Zabur, Taurat, Injil dan Al-Qur’an), tentang ajaran untuk pasrah kepada Tuhan. Lebih jauh lagi, sebagaimana Al-Qur’an memerintahkan untuk menjaga perasaan penganut agama lain, dengan menghormati dan melarang untuk menistakan sesembahannya. Seperti firman Allah dalam QS. al-An’am/6: 108.

Inklusivisme dapat disebut sebagai teologi perdamaian atau teologi kerukunan beragama; bersikap terbuka dan saling menghargai segala bentuk perbedaan. Sebaliknya, sikap eksklusif akan menimbulkan kecenderungan pada pertikaian dan ketidaktentraman masyarakat. Maka dari itu, membangun sikap inklusif dalam kehidupan beragama yang beragam khususnya dalam bingkain ke-Indonesia-an merupakan sebuah keniscayaan.

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.