Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto

Isu Anti-Islam Dimainkan Pihak Lawan

Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Hasto Kristiyanto, usai wawancara dengan VIVA beberapa waktu lalu.
Sumber :
  • VIVA/Muhamad Solihin

VIVA - Tahun politik akhirnya tiba seiring datangnya tahun 2018. Pada tahun ini, Indonesia akan menggelar pilkada serentak di 171 daerah.

Tanggapi Ide Prabowo Bentuk 'Presidential Club', Hasto Bilang PDIP Punya Tradisi 'Klub Kerakyatan'

Tak lama setelah itu, rakyat di tanah air akan 'menikmati' puncak dari pesta demokrasi yaitu pemilihan legislatif dan juga pemilihan presiden 2019 yang digelar secara serentak. Tentunya menarik menyimak bagaimana persiapan partai-partai politik khususnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, sebagai partai pemenang Pemilu 2014 lalu, dalam menghadapi momen penting tersebut.

Kekalahan mereka pada Pilkada DKI Jakarta 2017 seperti menimbulkan efek bola salju. Sejumlah pihak pun mulai mengkhawatirkan kejadian itu berimbas di pilkada-pilkada lain pada 2018 ini khususnya di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat.

PDIP Masih Cermati Peluang Duet Anies dan Ahok dalam Pilkada 2024

Kenapa? Salah satu alasannya adalah karena isu anti-Islam yang merebak seiring kasus penodaan agama yang melibatkan calon yang mereka usung di Jakarta yaitu Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Oleh karena itu, kami mencoba untuk berbincang dengan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto. Dalam kesempatan itu, Hasto menjawab banyak persoalan tidak terkecuali mengenai PDIP pasca kekalahan di Pilkada DKI lalu dan serangan anti-Islam yang mengarah kepada mereka.

Ganjar Pranowo Deklarasi jadi Oposisi Sejalan Dengan Sikap Partai

Soal kekalahan di Pilkada DKI, Hasto mengatakan bahwa situasi itu bukan hal yang luar biasa. Mereka bahkan pernah mengalami hal lebih buruk lagi yakni dilarang serta dalam pemilu saat era Orde Baru. Namun PDIP bertahan dari masa-masa gelap tersebut.

Oleh karena itu, kekalahan itu tidak akan mempengaruhi persiapan mereka dalam menghadapi Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Lantas, bagaimana dengan isu anti-Islam, bagaimana partai berlambang banteng moncong putih itu menyikapinya?

Berikut wawancara dengan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto:

Pilkada di 171 daerah sudah di depan mata, berapa persen target kemenangan PDIP di Pilkada serentak kali ini? Dan target menang di daerah mana saja?

Kalau dari aspek target kemenangan itu biarkan rakyat yang nanti menentukan. Karena pilkada kali ini merupakan peta yang begitu dinamis. Sehingga kami melihat posisi relatif calon PDI Perjuangan dengan calon yang diusung oleh koalisi partai lain.

Yang dilakukan oleh partai adalah bagaimana pilkada ini menjadi momentum untuk melakukan konsolidasi kepartaian agar betul-betul menyatu dengan rakyat, karena itulah seluruh tahapan dipersiapkan dengan baik, dan tahap penjaringan calon pun dilakukan secara terbuka, wawancara, psikotes, dan kemudian mereka yang direkomendasikan itu harus mengikuti sekolah para calon kepala daerah.

Maka mereka betul-betul memahami bahwa ketika partai merekomendasikan pasangan calon itu, maka partai sangat serius menggerakkan seluruh elemen kepartaian. Sehingga calon tidak bergerak sendiri, seluruh elemen kepartaian bertanggungjawab penuh di dalam memenangkan calon.

Nah, sekolah calon kepala daerah itu sangat penting, karena di situlah bisa mengarahkan aspek membumikan Pancasila, kemudian pemerintahan yang baik berdasarkan perspekthesis dari pemerintahan yang berhasil diajarkan tata pemerintahan yang bersih dari korupsi, reformasi birokasi, strategi pemenangan pemilu berdasarkan mesin partai dengan cara gotong royong, memenangkan dengan biaya yang semurah mungkin.

Itu karena pergerakan kolektif mesin partai yang menyatu dengan rakyat, bagaimana komunikasi politik, bahkan bagaimana gotong royong antara kepala daerah PDI Perjuangan agar ketika nanti terpilih secara vertikal memperkuat pemerintahan Bapak Jokowi, dan secara horizontal itu saling bekerjasama antara satu dengan yang lain, itu yang kami lakukan.

Dengan demikian kalau bicara target kemenangan, ya kami baru akan menetapkan nanti setelah semua pasangan calon ditetapkan. Sehingga diketahui posisi relatifnya antara pasangan yang satu dengan yang lain.

Akan tetapi yang lebih penting adalah bagaimana partai terus menyempurnakan mekanisme kelembagaan kepemimpinan itu, sehingga dari partai muncullah calon-calon pemimpin dari partai yang dipersiapkan. Bagi kami pilkada bukan segala-galanya. Bagi partai, bagi kami, pilkada itu juga merupakan ujian bagaimana mekanisme kelembagaan kepemimpinan.

Ketika kami sudah mengambil keputusan dengan penuh keyakinan, maka kalah menang itu persoalan rakyat yang menentukan. Contohnya di Banten. Desain kami di Banten, kami tidak mau mendukung pasangan calon yang punya persoalan track record yang kurang baik, yang menggunakan politik dinasti, bukan kepentingan dengan rakyat, tetapi untuk kepentingan keluarga dan kekuasaan, maka kami konsisten di situ.

Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto

Meskipun hanya beda tipis, tapi pada akhirnya nanti rakyat akan mencatat kualifikasi kepemimpinan yang diusung oleh PDI Perjuangan dengan yang terpilih. Nanti waktu yang akan membuktikan, jadi politik kemenangan itu bukan hanya ditentukan pada saat pilkada, tapi juga menentukan bagaimana cara mengelola kekuasaan pemerintahan itu.

Tapi bukankah Pilkada 2018 ini salah satu step untuk menuju Pileg dan Pilpres 2019 mendatang?

Betul, tapi itu tidak linier. Buktinya di Jawa Barat kurang apa coba dua periode gubernur dipimpin oleh PKS, tapi PKS kan tidak ada satu pun memenangkan pileg di Jawa Barat, cek aja coba, tidak ada loh Ketua DPRD yang dari PKS di Jawa Barat. Di Depok yang wali kotanya PKS menang dua periode, gubernurnya dua periode juga, ternyata Ketua DPRD-nya di Depok dari PDI Perjuangan waktu pemilihan legislatif kemarin. Sehingga tidak selalu linier juga sebenarnya.

Menurut saya, bagi yang menyatakan atau mensimplikasikan bahwa menang pemilu gubernur dan wakil gubernur di provinsi itu menjadi otomatis memenangkan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden itu sama saja mengkerdilkan suara rakyat. Itu mengingkari hakekat pemilu di mana rakyatlah sebagai hakim tertinggi, rakyatlah yang berdaulat.

Strategi khusus PDIP menghadapi Pilkada serentak ini seperti apa?

Tidak ada strategi khusus. Kami hanya bertanggung jawab atas apa yang telah kami putuskan, dan kami mendukung calon dengan penuh kesungguhan.

Kami persiapkan calon dengan sebaik-baiknya, sehingga ini merupakan sebuah pergerakan bersama, di mana calon tidak berdiri sendiri-sendiri, tapi calon didukung bersama. Tidak hanya itu, mereka yang tidak loyal maka kami akan pecat.

Hanya PDI Perjuangan yang bisa memberikan ketegasan di dalam dukungan. Kami berpolitik itu tidak mengenal abu-abu, ketika kami menyatakan mendukung satu pasangan calon, ya kami akan setia mendukung itu, tidak akan bergeser sedikit pun.

Sekolah Partai itu termasuk strategi juga?

Iya. Di situlah strategi gotong-royong kita sampaikan, bagaimana survei semurah-murahnya, bagaimana komunikasi politik yang efektif, bagaimana menjalankan pemerintahan dengan baik, yang membumikan Pancasila itu. Kemudian bagaimana menjadi pemimpin itu bergerak ke bawah menyatu bersama rakyat, dan mentradisikan apa yang sudah dilakukan oleh bapak Jokowi tentang kepemimpinan yang menggunakan tradisi blusukan, mendengarkan aspirasi rakyat secara langsung. Itulah yang kami tanamkan di sekolah partai kepada calon kepala daerah.

PDI Perjuangan di Pilkada DKI 2017 kemarin gagal memenangkan Ahok-Djarot. Apakah ini akan mempengaruhi PDIP dalam pertarungan Pilkada Serentak di daerah-daerah lain?

Begini, menang kalah itu kan hanya lima tahun saja. Kadang-kadang memang ada yang menjadikan kemenangan itu segala-galanya. Buat kami itu biasa, jangan kan kalah di pilkada, kalah di Pileg atau kalah di Pilpres, bahkan yang lebih tragis itu kami tidak boleh ikut pemilu pun sudah pernah (mengalami) itu.

Jadi hal yang paling buruk di dalam hal kepartaian di Indonesia itu, PDI Perjuangan pernah mengalami (tidak boleh ikut pemilu). 32 tahun di zaman Orde Baru itu, kami tidak boleh kaderisasi, hanya satu kali kami kaderisasi selama 32 tahun itu.

Kemudian 32 tahun pula kami tidak boleh melakukan rekrutmen politik, 32 tahun kami dijajah oleh sistem otoriter melayani monoloyalitas. Nah, itu semua sudah pernah kami alami, masa kalah di Pilkada DKI saja mempengaruhi daerah lain, tidak. Itu biasa buat kami.

Hasto Kristiyanto Bicara Kesiapan PDIP di Pilkada Serentak

Kami dicurangi saja kami biasa, di Bali kami dicurangi dulu dengan menggunakan instrumen kekuasaan (masa SBY). DPT dimanipulasi, kemudian Bansos digunakan dengan masif dari tahun 2009. Itu hasil penelitian Marcus Snephner. Dalam waktu enam bulan Pak SBY menggunakan USD 2 miliar, itu hasil penelitian loh ya. Itu belum termasuk dana-dana yang lain.

Jadi kami sudah terbiasa, sebagai partai politik kalah menang itu biasa dalam demokrasi, yang penting kami kan tetap setia pada jalan demokrasi untuk rakyat, kami tetap setia pada jalan hukum, kami tidak pernah menggunakan politik segala cara. Di dalam sekolah kepala daerah itu kami tidak pernah diajarkan bagaimana menang dengan menggunakan jalan pintas.

Kami diajari untuk menghargai proses, kami diajari untuk menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, untuk tidak melakukan money politik, kami tidak diajarkan untuk menyalip di tikungan, karena pengalaman yang paling buruk sebagai partai politik kami sudah pernah alami, sehingga kami punya kesabaran di dalam mengelola kekuasaan itu, yang terpenting buat kami adalah bagaimana dedikasi bagi bangsa dan negara, itulah yang menjadi komitmen bagi PDI Perjuangan.

Jadi kalah di Jakarta itu hal yang biasa di dalam demokrasi, toh nanti rakyat yang akan melihat sendiri. Karena kebenaran itu tidak diukur ketika kalah atau menang, tapi kebenaran itu juga diukur pada saat pemerintahan itu berjalan. Apakah pemerintahan yang berjalan itu kinerjanya baik, kemudian benar-benar mengabdi pada kepentingan rakyat? Apakah justru sebaliknya, pada kepentingan pribadi saja, jadi kami tidak ada beban pada kekalahan di Jakarta.

Apakah tidak mengurangi kepercayaan diri PDI Perjuangan juga ya?

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto

Prabowo Bilang Ada yang Ngaku Seolah Bung Karno Milik Satu Partai, Sekjen PDIP Merespons

PDIP menyepakati bahwa Proklamator RI Sukarno atau Bung Karno milik semua kalangan seperti yang disampaikan presiden terpilih Prabowo Subianto.

img_title
VIVA.co.id
13 Mei 2024