VIVAnews – Pertengahan November 2008, kelurahan Bidaracina, Jakarta Timur, bak kampung terapung. Air keruh kecoklatan Kali Ciliwung meluap ke rumah-rumah warga. Di Gang Solihun, ketinggian air mencapai pinggang orang dewasa. Rumah Muhammad Ali Syafei, 83 tahun, pun terendam. “Saya suka sedih kalau melihat kondisi Kali Ciliwung sekarang,” ujarnya saat berbincang dengan VIVAnews.
Ia merasakan betul hilangnya keindahan Ciliwung. Baginya, kali itu menyimpan banyak kenangan. Kali sepanjang 60 kilometer itu menjadi saksi bisu perjalanan sejarah Bidaracina.
Bang Ali menerawang. Cerita turun temurun, Bidaracina dulu adalah daerah resapan air. Hutan dengan aneka pepohonan membentang. Terbelah aliran Ciliwung yang jernih. Kecipak air dari sejumlah dayung perahu pun bersahutan dengan kicau burung.
Penumpang perahu adalah para saudagar Cina dari Depok dan Bogor. Banyak dari mereka yang menambatkan perahu di kawasan Bidaracina, sebelum melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki ke Mester (Jatinegara).
Polah mereka ternyata mengusik warga setempat. Mereka pun menjadi sasaran kejahatan. Banyak dari mereka yang dibunuh dan dirampok. “Makanya dikenal sebagai daerah Cina Berdarah,” ujar Bang Ali. “Mereka dibegal dan dibunuh. Barang rampasannya dibagi ke masyarakat setempat. Ya kayak si Pitung, ngerampok buat rakyat Betawi yang kesusahan.”
Cerita lain, Kampung Bidaracina tumbuh seiring pembantaian ribuan warga Cina di Batavia pada 1740. Banyak warga Cina yang lari ke hutan-hutan di luar benteng kota Batavia (sekitar Pasar Ikan hingga Stasiun Kota). Mereka melarikan diri dengan kondisi terluka.
Mereka yang lari ke hutan terus dikejar. Mereka terbantai di hutan-hutan, termasuk hutan di kawasan selatan Mester. Cerita selanjutnya sama. Warga mengidentikan kawasan itu sebagai daerah Cina Berdarah, yang dalam perkembangannya menjadi Bidaracina.
Adolf Heuken, peneliti sejarah Jakarta asal Jerman, menganggap cerita Cina Berdarah sebagai dongeng belaka. Berbagai literatur yang ia temukan menyebut, penamaan Bidaracina justru erat dengan pohon bidara.
Pada masa Hindia Belanda, ada seorang Cina yang menandatangani kontrak untuk menanami kawasan benteng Noordwijk (kini Pasar Baru) dengan pohon. Kontrak tertanggal 9 Oktober 1684 itu, dibuat Notaris Reguleth. Kontrak memang hanya menyebut Noordwijk, tapi gerakan tanam pohon itu melebar ke kawasan timur kota Batavia.
Saking banyaknya orang Cina yang menanam pohon bidara di selatan Mester (Jatinegara), disebutlah kawasan itu sebagai Bidaracina. “Soal Cina berdarah atau ceceran darah Cina di sana, itu hanya dongeng yang perlahan dianggap fakta,” ujar Adolf.
Terlepas dari asal usul namanya, Bidaracina telah berubah wujud. Dari area resapan penuh pepohonan menjadi kampung terapung. Hampir setiap musim hujan, kawasan itu menjadi langganan banjir. Tentu saja bukan banjir darah orang Cina.
VIVA.co.id
29 April 2024
Baca Juga :
Komentar
Topik Terkait
Jangan Lewatkan
Terpopuler
Selengkapnya
Partner
Media Qatar Sebut Negara Ini Lawan Terberat Timnas Indonesia U-23, Bukan Korsel dan Jepang
Bandung
11 menit lalu
Salah satu media Qatar, Qatar Tribune membahas peluang Timnas Indonesia U23 dalam Piala Asia U-23 2024. Media itu menyebut lawan terberat Timnas Indonesia U23 bukanlah Ko
KK KTP Anda Masuk Nominias Penerima Saldo DANA Gratis Rp700 RIbu, Segera Ambil Disini
Bandung
11 menit lalu
Saldo DANA gratis sebesar Rp700 ribu, yang merupakan uang insentif, akan dibayarkan kepada penerima Kartu Prakerja setelah mereka menyelesaikan beberapa tahapan. Saat in
Wakil Bupati Banyuwangi Sugirah mendaftarkan diri ke DPC Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk maju sebagai bakal calon bupati (bacabup) di Pilkada 2024.
Kader militan PKB yang dua periode jadi Ketua DPRD Kabupaten Pasuruan, Sudiono Fauzan, memantapkan diri mendaftar sebagai Cabup Pasuruan 2024 dengan bawa visi BERKAH.
Selengkapnya
Isu Terkini