Asumsi Makro Berubah, Target Penerimaan Pajak Harus Tercapai

Sumber :
  • ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma
VIVA.co.id
- Pemerintah dan Komisi XI DPR telah menyepakati beberapa asumsi makro yang akan ditetapkan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) perubahan 2015. Ada beberapa asumsi yang sepakat untuk diubah.


Antara lain, pertumbuhan ekonomi menjadi 5,7 persen dari sebelumnya 5,8 persen. Kemudian, asumsi nilai tukar rupiah diubah dari Rp12.200 per dolar Amerika Serikat menjadi Rp12.500 per dolar AS.


Sementara, asumsi yang disepakati tetap, yaitu inflasi sebesar 5 persen dan suku bunga surat pembendaharaan negara (SPN) tiga bulan sebesar 6,25 persen.


Wakil Menteri Keuangan, Mardiasmo, di kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Selasa, 27 Januari 2015 mengatakan, penerimaan negara dalam RAPBN-P dibahas hari ini.


Penerimaan perpajakan yang diajukan sebesar Rp1.484 triliun, naik lebih dari Rp300 triliun dari APBN 2015.


Meskipun terjadi peningkatan yang signifikan, dia optimistis target tersebut dapat tercapai. Karena, didukung dengan upaya tambahan yang dilakukan.


Bahkan, menurutnya, dalam pembahasan dengan DPR ditegaskan perubahan asumsi makro masih bisa dimaklumi, asalkan, penerimaan negara tidak meleset dari target.


"Kalau tidak melakukan apa-apa, penerimaan perpajakan alami sekitar Rp900 triliunan, dengan ektra-ekstra
effort
saya yakin bisa tercapai," tegasnya.


Mahalnya mengelola Indonesia

Di tempat yang sama, Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, target penerimaan pajak yang diajukan lebih tinggi, agar pemerintahan baru memiliki ruang fiskal yang besar untuk mendorong pembangunan, sehingga dapat mensejahterakan masyarakat.


Menurutnya, penerimaan yang besar dibutuhkan karena untuk merawat Indonesia yang merupakan negara kepulauan, sehingga menyerap anggaran besar, apalagi jika ditambah harus melakukan pembangunan.


"Ingat negara kita 240 juta orang dan wilayah kepulauan," tegasnya.


Dia menjelaskan, kenapa biaya logistik di Indonesia lebih mahal ketimbang negara-negara berkembang lainnya. Karena, mayoritas negara dengan kelas ekonomi atas merupakan negara kontinental, bukan kepulauan.


"Karena mengelola negara kepulauan lebih mahal ketimbang negara kontinen," kata Bambang.


Lebih lanjut, Bambang mencontohkan, di India misalnya, distribusi barang di negara tersebut lebih efisien, karena diuntungkan dengan letak geografis.


Moda transportasi darat yang lebih murah dapat berkembang dengan baik di negara itu.


"Dari Surabaya ke Makasar itu kan sebenarnya relatif dekat, tapi kalau gelombang laut lagi tinggi, maka pengiriman barang sulit dan kalau dikirim juga mahal, karena butuh kapal besar dan tenaga besar," jelasnya.
Kemenkeu Uji Validitas Skandal Pajak Panama Papers


Jackie Chan Terseret Skandal Pajak Panama Papers
"Jadi mengelola saja ini mahal, pajak besar supaya bisa memberikan pelayanan publik yang merata," tegasnya.

Menkeu: Perusahaan e-Commerce Wajib Berbadan Usaha

Baca juga:


Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Tarif Pajak RI Bakal Diturunkan?

Revisi UU Pajak akan segera diajukan ke DPR.

img_title
VIVA.co.id
10 Agustus 2016