Ketua DPR: Pasal Penghinaan Presiden Jangan Hantam Demokrasi

Ketua DPR RI Setya Novanto
Sumber :

VIVA.co.id - Ketua DPR RI, Setya Novanto, mengatakan pasal penghinaan terhadap Presiden yang kembali dimasukan dalam revisi KUHP perlu dikaji kembali agar tidak justru membungkam demokrasi.

"Kritik untuk membangun itu penting. Kritik yang penting konstruktif, kritikan mengkoreksi diri lebih baik, tidak boleh anti kritik, yang tidak boleh adalah menghina seenaknya," katanya di gedung DPR RI, Jakarta, Selasa 4 Agustus 2015.

Selain itu, ia khawatir pasal ini ke depan bisa berubah menjadi "pasal karet" dan bisa digunakan untuk apa pun yang dianggap mengganggu pemerintah. Sebab, bila menjadi pasal karet akan sangat berbahaya terhadap demokrasi di Indonesia.

"Kita sedang evaluasi dan menerima masukan dari masyarakat dan pemerintah supaya ada keterbukaan di alam demokrasi. Ini kritikan yang membangun bangsa dan negara," katanya.

Politisi Partai Golkar ini menambahkan ada atau tidak pasal penghinaan, presiden harus tetap dilindungi.

"Presiden harus dilindungi. Presiden harus dijaga. Itu tugas pemerintah dan masyarakat untuk melindungi presiden," kata Setya.

Ketika Hukuman Mati jadi Alternatif

Seperti diketahui, pasal itu masuk dalam 786 pasal yang diajukan Presiden Joko Widodo ke DPR RI untuk disetujui menjadi KUHP. Pasal tersebut terkait Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden.

Pasal ini sejatinya telah dicabut Mahkamah Konstitusi melalui putusannya pada 7 Desember 2006 silam, yang menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan Uji Materi terhadap Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP terkait Penghinaan terhadap Presiden/Kepala Negara.

Dengan adanya keputusan MK Nomor 013-022-/PUU-IV/2006 itu, maka klausul tentang Penghinaan Presiden, sebagaimana pada Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP dianggap tidak berlaku lagi. (ren)

Luhut Binsar Pandjaitan.

Menko Polhukam: SP3 Agar KPK Tak Langgar HAM

Dia menyebut kasus Siti Fajriah sebagai contoh.

img_title
VIVA.co.id
9 Februari 2016