- VIVAnews/Ikhwan Yanuar
VIVA.co.id - Setelah mendapat teguran dari Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Sumber Daya, Rizal Ramli soal adanya dugaan mafia listrik di dalam pulsa atau voucher listrik, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) langsung memberikan klarifikasinya.
"Berulang kali di media massa sampaikan ke publik informasi yang perlu diluruskan hal listrik prabayar. Boleh jadi ada info yang didapat perlu diklarifikasi. Kalau beli pulsa listrik beda dengan beli pulsa telepon," kata Head of Commercial Division PT PLN, Benny Marbun, Selasa 8 September 2015.
Benny menjelaskan, dalam pembelian voucher listrik dipastikan tidak bisa disamakan seperti pembelian pulsa pada handphone. "Kalau beli pulsa listrik, Rp100 ribu, dapat 75 kWh. Jadi, ini berbeda satuan. Beda dengan beli pulsa telepon," katanya.
Benny mencontohkan, jika pembelian pulsa listrik untuk rumah tangga dengan daya 1.300 VA, kemudian ada konsumen rumah tangga daya 1.300 VA membeli token Rp100 ribu, yang bisa dihitungkan dalam pembelian token tersebut sebagai berikut:
1. Administrasi Bank Rp1.600 (tergantung banknya, ada yang mengenakan Rp2.000).
2. Biaya Meterai = Rp0 (karena transaksinya hanya Rp100 ribu saja).
3. Pajak Penerangan Jalan Rp2.306 (PPJ di DKI 2,4 persen dari tagihan listrik).
"Ini yang membedakan beli pulsa telepon dan beli pulsa listrik. Karena Beli pulsa listrik ada PPJ," kata Benny.
Selain itu, pada poin keempat dijelaskan, sisa Rupiah untuk listrik = Rp100.000 - (Rp1.600 + Rp2.306) = Rp96.094.
5. Listrik yang diperoleh = Rp96.094/1.352= 71,08 kWh. Di mana tarif listrik adalah Rp1.352/kWh.
"Jadi, ketika membeli listrik Rp100 ribu, dapatnya 71,08 kWh. Besaran kWh inilah yang dimasukkan ke meter, bukan Rp71 ribu," ujar Benny
"Biaya materai untuk transaksi lebih besar dari Rp250 ribu sampai Rp1 juta dikenakan biaya meterai Rp3.000. Di atas satu juta rupiah dikenakan biaya meterai Rp6.000. Mengenai PPJ, dipungut atas dasar Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. Seluruh hasil pungutan PPJ disetorkan ke Pemda," tuturnya. (ase)