BI Bantah Pelemahan Rupiah Masuk Siklus Krisis 10 Tahunan

Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

VIVA – Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menegaskan pelemahan nilai tukar rupiah, yang terus terjadi beberapa bulan terakhir hingga hampir menyentuh angka Rp14.200, tidak bisa dikatakan serupa dengan ciri-ciri kondisi krisis yang terjadi pada 1998 maupun 2008.

Rupiah Kembali Anjlok ke Level Rp 16.234 per Dolar AS

Hal itu didasari Agus dari kondisi ekonomi Indonesia yang jauh berbeda dengan yang ada pada saat krisis 10 maupun 20 tahun lalu, di mana saat ini, mulai dari komponen cadangan devisanya hingga kondisi perbankan sudah terbilang kuat.

"Lihat dari cadangan devisanya, sekarang juga sudah ada perbankan yang sehat, yang permodalannya 22 persen lebih, NPL (Non Performing Loan) di bawah 3 persen," ujar Agus di Kementerian Keuangan, Senin 21 Mei 2018.

Mendag Imbau Masyarakat Tak Perlu Khawatir soal Pelemahan Rupiah

Selain itu, Agus juga menilai bahwa pada tahun ini Indonesia juga sudah memiliki Lembaga Penjamin Simpanan yang jamin deposit. Sehingga, secara umum indikator ekonomi Indonesia masih baik.

Mantan menteri keuangan itu menegaskan, dengan adanya pelemahan rupiah yang masih terjadi, jangan ada kekhawatiran yang berlebih hingga menganggap adanya potensi kembalinya Indonesia mengalami krisis ekonomi siklus 10 tahunan.

Bank Indonesia Naikkan BI Rate Jadi 6,25 Persen Demi Stabilkan Rupiah

"Jadi kalau seandainya dibanding 10 dan 20 tahun lalu, kondisi kita sekarang baik dan tidak perlu khawatir. Kita kan baru berlakukan KSSK review, dan kita lihat semua stabil," ungkap Agus.

Mata uang rupiah dan dolar AS.

Masih Stabil

Selain itu, di lokasi yang sama, Deputi Gubernur Bank Indonesia, Dody Budi Waluyo mengungkapkan, dari sisi Surat Utang Negara atau SUN, juga masih menarik perhatian investor. Hal ini menunjukan kualitas perekonomian Indonesia yang masih stabil.

"Masih, masih, masih ada (investor yang tertarik). Artinya dengan yield kita dengan spead sekitar 4,2-4,3 persen itu sebenarnya faktornya masih attractive dari sisi differential suku bunga dependence yield," ucapnya.

Spread dari imbal hasil dari SUN tersebut, jelas dia disebabkan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar yang secara persentase hariannya hanya mencapai 0,2 sampai 0,3 persen. Hal itu menjadikan return yang diperoleh Investor masih mampu menutupi selisih depresiasi.

"Depresiasi di sekitar per harinya di bawah 0,2-0,3 persen masih menutup dari return yang diperoleh oleh mereka. Faktor domestik juga gak ada isu yang sampai PDBnya rendah. Artinya growth differential nya masih terjaga," jelasnya.

Karenanya kata dia, dari sisi ketertarikan Investor terhadap SUN masih dapat dikatakan menarik. Namun memang, Dody mengakui bahwa di tengah kondisi pasar global yang tidak menentu ini sudah seharusnya BI dan pemerintah terus membangun komunikasi yang baik dengan jnvestor untuk menjaga kepercayaan maupun sentimen mereka terhadap perekonomian domestik.

"Ini lebih kepada sentimen, keyakinan, confidence yang memang harus diperkuat. Komunikasi jadi kuncinya," tegas Dody. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya