Bonus Demografi Dinilai Bisa Tekan Defisit CAD, Jangan Jadi Beban

Ilustrasi Ekspor Impor.
Sumber :
  • VIVA.co.id/M Ali Wafa

VIVA – Pemerintah dinilai perlu segera menyiapkan  program jangka pendek maupun jangka panjang secara lebih serius, untuk meningkatkan ekspor produk barang dan jasa. Sebab, selain mencegah terjadinya defisit transaksi berjalan, bisa menciptakan lapangan pekerjaan sekaligus meningkatkan pertambahan cadangan devisa negara. 

Kemnaker Tingkatkan Program Pemagangan, Tenaga Kerja Indonesia ke Jepang Untungkan Kedua Negara

Pemerintah juga harus sungguh-sungguh melakukan pengendalian impor. Program tersebut pun ditegaskan bukan hanya serius disampaikan oleh Presiden Joko Widodo, tetapi juga harus diimplementasikan secara sungguh sungguh oleh jajaran di bawahnya. 

Hal tersebut disampaikan dalam acara diskusi publik yang mengambil tema, 'Mendorong Keseriusan Pemerintah Meningkatkan Ekspor untuk Indonesia yang Lebih Baik' yang diadakan Public Trust Institut, kemarin di Jakarta. 

Menaker Beri Semangat Tingkatkan Kompetensi pada Peserta Pemagangan di Thailand

Dosen Laboratorium Statistik P3M Universitas Indonesia (UI), Andy Azisi Amin mengungkapkan, sebagai negara yang populasinya terbanyak keempat setelah Tiongkok, India dan Amerika. Transaksi berjalannya terus mengalami defisit di Indonesia, menandakan impor lebih besar ketimbang ekspor. 

Menurutnya, meskipun nilai defisit transaksi berjalan saat ini belum terlalu berbahaya. Namun, bila terjadi terus menerus dan kita banyak bergantung kepada negara lain itu menjadi bom waktu. Hal ini harus jadi sorotan pemerintah. 

Neraca Perdagangan Januari Surplus, BI: Positif Topang Ketahanan Eksternal Ekonomi RI

"Solusinya tidak bisa diselesaikan hanya lewat crash program. Tapi harus dipersiapkan sejak lama dan juga untuk jangka waktu lama dengan tidak melupakan saat ini. Program tersebut harus dapat meningkatkan nilai ekspor. Artinya, membuat program peningkatan nilai tambah apapun yang dihasilkan oleh tenaga kerja kita di dalam negeri,” papar Andy dikutip dari keterangan resminya, Senin 26 November 2018. 

Lebih lanjut, dia memaparkan,  defisit transaksi berjalan pada triwulan III 2018 yang semakin membengkak menjadi US$8,8 miliar dolar AS atau 3,37 persen dari produk domestik bruto (PDB) sangat mengkhawatirkan. Bahkan, bisa menjadi yang tertinggi setelah kuartal II 2014 yang pernah mencapai US$9,5 miliar dolar AS atau 4,26 persen dari PDB kita jika tidak cepat diantisipasi.  

Pelebaran defisit transaksi berjalan ini harus menjadi perhatian. Sebab, ketergantungan terhadap impor migas adalah sangat masif, defisit neraca perdagangan migas semakin melonjak, dan ketahanan energi menjadi krusial di tengah pelemahan rupiah dan naiknya harga minyak dunia

Dia berpendapat, defisit neraca jasa yang persisten juga mengindikasikan lemahnya jasa transportasi domestik dalam melayani kebutuhan perdagangan luar negeri. Sedangkan, tren penurunan kinerja ekspor dan komposisi ekspor yang terus didominasi komoditas, mencerminkan lemahnya pendalaman struktur industri nasional, bahkan telah terlihat tanda-tanda deindustrialisasi yang jelas. 

"Semakin besarnya defisit pendapatan primer juga mengindikasikan kualitas penanaman modal asing yang semakin buruk di mana investor asing mengirim modal kembali ke luar negeri dalam jumlah yang semakin besar,”papar alumni University of Ilinois, Amerika yang juga salah seorang Ketua ILUNI UI ini.

Di tempat yang sama, dosen kebijakan publik Institut STIAMI, Eman Sulaeman Nasim, mendukung program pemerintahan  Presiden Joko Widodo, yang akan menguubah defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan dengan cara meningkatkan ekspor yang harus lebih besar dari pada impor. 

Agar nilai ekspor lebih besar akan dilakukan upaya menyiapkan produk-produk yang berkualitas termasuk dari sisi desain dan kemasan, serta diversifikasi pasar. Namun, program itu dinilai tidak cukup hanya diucapkan presiden, tetapi harus diimplementasikan oleh jajaran di bawahnya.
    
“Implementasi di lapangan, sering  kali jauh dari kenyataan. Ini juga yang membuat Presiden Jokowi tidak sabar atas kinerja aparat di bawah nya," tambahnya. 

Sementara itu, Dosen Komunikasi Bisnis Politeknik Keuangan Negara (PKN) STAN ini menambahkan, pada triwulan III 2018 ini defisit neraca perdagangan salah satunya disebabkan meningkatnya impor minyak dan gas (Migas) untuk kebutuhan transportasi dan industri di Tanah Air. 

Hal tersebut bisa ditutup lewat program jangka pendek dan jangka panjang, antara lain dengan penciptaan dan pemanfaatan sumber energi alternatif seperti pembangunan pembangkit listrik tenaga angin yang sudah dibangun dan diresmikan pemanfaatannya oleh Jokowi di daerah Sulawesi. Sert,a memperbanyak sarana transportasi yang menggunakan listrik.

Eman menyarankan, pemerintah untuk bisa meniru apa yang dilakukan pemerintah Tiongkok dan India. Yakni memanfaatkan kelebihan jumlah penduduk untuk dapat meningkatkan ekspor. Tetapi, implementasinya harus dikolarborasikan dengan kekayaan sumber daya alam yang dimiliki, serta kemajuan teknologi. 

Sehingga, menghasilkan produk ekspor yang lebih baik. Mulai dari hasil produksi industri ke luar negeri, maupun ekspor jasa atau tenaga kerja yang profesional dan terlatih.

"Kita harus meniru dua negara tersebut. Bonus demografi jangan dijadikan beban. Tetapi, harus diarahkan untuk kesejahteraan rakyat itu sendiri. Tetapi, untuk merealisasikan hal ini perlu kesabaran dan pengorbanan dari pemerintah. Sebab, tidak bisa dilakukan secara instan,” ungkapnya. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya