Ini Alasan Pengusaha Pesimis CAD Bisa 2,5 Persen di 2019

Jajaran petinggi Apindo.
Sumber :
  • Arrijal Rachman/VIVA.co.id.

VIVA – Pengusaha mengaku pesimistis terhadap defisit transaksi berjalan atau current account deficit/CAD Indonesia pada 2019, yang diperkirakan Bank Indonesia dan pemerintah bisa turun di kisaran 2,5 persen. Setelah di tahun ini, terus melebar di atas tiga persen dari poduk domestik bruto atau PDB.

Neraca Pembayaran Indonesia Kuartal II-2023 Defisit, BI Sebut Tidak Berdampak Buruk ke Rupiah

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani mengungkapkan, pesimistis itu tercipta akibat masih belum adanya industri bahan baku di Indonesia yang bisa memenuhi kebutuhan produksi industri dalam negeri yang berorientasi ekspor.

Menurut dia, saat ini, 70 persen bahan baku produksi industri yang berorientasi ekspor masih diperoleh dari hasil impor. Sehingga, bila pemerintah tidak fokus untuk mengembangkan industri bahan baku, sampai kapanpun dikatakannya defisit transaksi berjalan Indonesia akan terus melebar.

Pemulihan Ekonomi Terhambat PPKM, Defisit Transaksi Berjalan Tak Naik

"Jadi, kalau kita mau kembangkan industri, tetapi bahan bakunya masih terus impor 70 persen, gimana kita mau maju? Kan susah. Itu enggak akan bantu neraca transaksi berjalan kita, karena akhirnya kalau kita menggenjot ekspor, impornya harus dinaikkan juga. Jadi, kuncinya di situ," ungkap dia di Jakarta, Rabu 5 Desember 2018.

Dia pun menilai, selain karena industri bahan baku yang sangat tidak mampu untuk menyediakan kebutuhan produksi. Harga bahan bakar yang terus dipertahankan pemerintah untuk tidak naik, juga menjadi salah satu pemicu dari rasa ketidakoptimisan tersebut.

BI: Defisit Transaksi Berjalan RI Mulai Naik pada Kuartal II-2021

"Kalau saya sih, bilang 2,5 persen sangat optimis ya buat saya. Maksud saya, buat 2,5 persen puji Tuhan kalau bisa mencapai segitu gitu ya. Selama kita tidak mau menaikkan harga bahan bakar akan sulit sekali untuk kita mencapai itu. Saya rasa, bagus ya pemerintah optimis, tetapi saya rasa akan berat, karena kita masih bergantung pada impor sangat besar," tegas dia.

Untuk itu, Shinta menilai, hilirisasi industri atau memberikan nilai tambah terhadap produk komoditas untuk ekspor yang sebagaimana terus digaungkan Presiden Joko Widodo beberapa hari terakhir untuk meredam defisit transaksi berjalan, tidak akan bisa benar-benar membantu tanpa ada pembenahan industri bahan baku dalam negeri.

"Tetap,i kita mau bagaimana meningkatkan value added dari pada produk itu, jelas ini sekarang dari palm oil, dari semua, sudah melakukan itu. Tapi selain itu, saya tegaskan adalah industri hulunya, karena kita 70 persen impor bahan baku. Industri bahan baku kita mana, sampai berapa tahun ini begini terus," paparnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya