Ekonomi RI Kembali Melandai Usai Kebijakan PSBB Ketat Longgar

Pemberlakuan Kembali PSBB Masa Transisi di Jakarta__Kendaraan di Sudirman
Sumber :
  • VIVA/Muhamad Solihin

VIVA – Pemerintah menyebut ekonomi Indonesia mulai pulih setelah data Purchasing Managers Index (PMI) kembali ke posisi ekspansi atau di level 50. Tetapi, kalangan perbankan melihat arahnya cenderung melandai terlebih usai dilakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar alias PSBB ketat.

Pilkada 2024 Berbeda dan Lebih Kompleks dibanding Pilkada Serentak Sebelumnya, Menurut Bawaslu

Baca Juga: Bio Farma Jamin Harga Vaksin COVID-19 Sekitar Rp200 Ribu per Dosis

Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Tbk, Andry Asmoro, mengakui, memang sejak kebijakan PSBB diperlonggar, data-data ekonomi baik dari sisi permintaan maupun penawaran naik.

KPK Periksa Anggota DPR Fraksi PDIP Ihsan Yunus soal Dugaan Korupsi APD di Kemenkes

Tetapi, usai PSBB kembali diperketat dan saat ini kembali dilonggarkan di Ibu Kota Jakarta, data-data tersebut cenderung melandai. Terutama, yang terkait dengan belanja atau konsumsi masyarakat.

"Setelah adanya recovery pascapelonggaran PSBB itu, hampir berbagai indikator belanja itu melandai kembali," kata Andry dalam webinar, Selasa, 13 Oktober 2020.

Singapore PM Lee Hsien Loong to Resign After Two Decades on Duty

Andry menjelaskan, penyebabnya, keyakinan masyarakat terhadap proses penanganan COVID-19 menurun, sehingga memengaruhi sentimen masyarakat untuk membelanjakan uangnya.

"Dari sini kita sudah tahu bahwa setiap ada tren kenaikan COVID-19 dan diikuti dengan PSBB, confident orang relatif terganggu," tuturnya.

Di sisi lain, dia melanjutkan, data kecenderungan orang untuk menyimpan uangnya malah tumbuh pesat. Tergambar dari indikator Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan yang tumbuh di atas 8 persen meski kredit 1,5 persen.

"Kalau di-breakdown lagi, hanya di Agustus saja penabungnya meningkat Rp148 triliun. Ini tahun lalu paling tinggi di bulan Juni hanya Rp113 triliun. Itu mengindikasikan orang prefer to save, karena masih uncertainty," katanya.

Seiring dengan kondisi tersebut, Andry melanjutkan, kegiatan dunia usaha pada akhirnya sulit kembali ke titik impas atau Break Even Point (BEP). Maka, keinginan mereka untuk ekspansi bisnis juga menjadi menurun.

"Ini akan menghadapi BEP-nya di bawah 66 persen, jadi kalau ini berkepanjangan mereka lebih baik tutup. Ini perlu menjadi concern," ungkap Andry.

Oleh sebab itu, dia menganggap semakin lama pemerintah berkutat dengan persoalan COVID-19 semakin lama ekonomi bisa bergerak. Karenanya, penanganan COVID-19 haruslah menjadi fokus utama.

"Negara tetangga kita, Vietnam misalnya, mereka sudah bisa memanfaatkan relokasi industri manufaktur dari Tiongkok, karena memang mereka bisa menahan COVID-19. Artinya investor pun percaya diri untuk masuk," ujar Andry. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya