Anggota Komisi XI Ingatkan Komitmen Pemerintah Soal Tax Amnesty

Suasana helpdesk tax amnesty
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma

VIVA – Wacana adanya Tax Amnesy Jilid II bergulir seiring dengan rencana revisi kelima UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Hal tersebut pun menuai respon dari berbagai pihak, salah satunya adalah Komisi XI DPR.

Pemerintah Sudah Kantongi Rp 112 Miliar Pajak Transaksi Kripto pada 2024

Anggota Komisi XI DPR Andreas Eddy Susetyo tegas menolak wacana Tax Amnesty Jilid II itu. Sebab, dinilai sangat tidak baik bagi masa depan sistem perpajakan di tanah air. Komitmen Pemerintah pada 20216 pun diingatkan.

"Tidak saja mengingkari komitmen tahun 2016, bahwa Tax Amnesty hanya diberikan satu kali dalam satu generasi, pelaksanaan jilid 2 akan meruntuhkan kewibawaan otoritas yang pada gilirannya berdampak negatif pada trust masyarakat wajib pajak," kata Andreas dikutip dari keterangannya di Jakarta, Sabtu, 22 Mei 2021.

Fortuner vs Pajero Sport Bekas, Pajak Tahunannya Murah Mana?

Baca juga: Percepat Program Pensiun Dini, Bos Garuda Buka-Bukaan Alasannya

Selain itu, Andreas juga mengatakan, kebijakan yang berulang itu akan menghilangkan rasa keadilan bagi peserta Tax Amnesty, para wajib pajak patuh, dan wajib pajak yang sudah diaudit akan tercederai. Sebab secara psikologis, hal ini juga buruk karena dapat menciptakan salah paham.

Isu Partai Rival Gabung Dukung Prabowo, Sangap Surbakti Khawatir Bisa Jadi Duri dalam Daging

“Saya lebih baik tidak patuh karena akan ada Tax Amnesty lagi," ucapnya.

Andreas menerangkan, Tax Amnesty Jilid I diimplementasikan sebagai wujud keterbukaan dan kebaikan Pemerintah untuk melakukan rekonsiliasi. Dengan menunda penegakan hukum yang seharusnya dimanfaatkan secara maksimal oleh wajib pajak. 

"Pada saat itu, diterapkan tarif sangat rendah, tidak ada kewajiban repatriasi, jangka waktu menahan harta di Indonesia hanya 3 tahun, dan mendapatkan pengampunan pajak tahun 2015 dan sebelumnya," kata ia.

Apalagi, lanjut politikus PDIP ini, Ditjen Pajak masih memberikan kesempatan wajib pajak yang belum patuh untuk mengikuti program Pengungkapan Aset Sukarela dengan tarif Final (PAS Final) melalui PP 36/2017. 

"Wajib Pajak membayar PPh terutang dan mendapat keringanan sanksi administrasi. Hal ini seharusnya diikuti para wajib pajak dengan sebaik-baiknya," tegasnya.

Ia juga mengatakan, pascaamnesti Pemerintah dan DPR menyepakati keterbukaan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan melalui UU No. 9 Tahun 2017. Dengan demikian penegakan hukum dapat dilakukan lebih efektif dan adil karena didukung data/informasi yang akurat sehingga dapat dibuat klasifikasi wajib pajak menurut risiko. 

"Untuk itu kami mendorong Ditjen Pajak mengoptimalkan tindak lanjut data/informasi perpajakan ini untuk mendorong kepatuhan yang lebih baik," tambahnya.

Lebih lanjut dia berpendapat, Tax Amnesty bukan jawaban yang tepat atas shortfall pajak. Pemerintah harus terus didukung untuk fokus pada reformasi perpajakan dengan menyempurnakan regulasi, memperbaiki administrasi, meningkatkan pelayanan, dan konsisten melakukan pengawasan kepatuhan. 

"Kebutuhan akan sistem perpajakan yang kuat, kredibel, dan akuntabel sehingga menghasilkan penerimaan yang optimal dan sustain jauh lebih penting dan mendesak ketimbang memberlakukan Tax Amnesty," tegasnya.

Menurutnya, untuk memfasilitasi para wajib pajak yang ingin patuh dengan mempertimbangkan kondisi pandemi. Pemerintah lebih baik membuat Program Pengungkapan Aset Sukarela (Voluntary Disclosure Program/VDP). Dengan tetap mengenakan tarif pajak normal dan memberikan keringanan sanksi. 

"Hal ini harus diikuti dengan pelayanan yang baik, pembinaan, dan penegakan hukum yang konsisten dan terukur," tegasnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya