Cegah Kebocoran, Subsidi BBM Lebih Tepat Diberikan pada Individu

Ilustrasi Nozzle BBM.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar

VIVA – Guna mencegah kebocoran dalam pemberian Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), pemerintah sebaiknya mengalokasikan dana subsidi kepada individu. Sebab, selama ini subsidi yang diberikan pada komoditas kurang tepat sasaran.

Sri Mulyani Ungkap Pembangunan IKN Sudah Sedot APBN Rp 4,3 Triliun

Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada, Ardiyanto Fitrady, mengatakan jika subsidi diberikan ke komoditas, kemungkinan kebocoran sangat besar dan hal itu sulit dikendalikan. 

“Kalaupun terpaksa karena sudah teranjur ke komoditas, subsidi harus ada batasnya juga. Dengan begitu sisi keuangan pemerintah bisa menjaga alokasi budget-nya. Kalau ada yang bocor, harga berubah misalnya tidak akan sebesar dampaknya,” ujar Ardiyanto saat diskusi dengan media dikutip Selasa 19 April 2022. 

Sri Mulyani Ungkap APBN Surplus Rp 8,1 Triliun hingga Maret 2024

Baca juga: Pertalite, LPG 3 Kg, Listrik Bakal Naik, Pengamat: Inflasi Gila-gilaan

Menurut Ardiyanto, saat ini menaikan harga komoditi isunya sangat besar. Apalagi kaitannya dengan komoditi yang digunakan banyak orang, seperti bahan bakar minyak (BBM) maupun LPG. 

Usai Sepi Peminat, Pemerintah Kasih Gratis Konversi Motor Listrik

Untuk itu, dia menyarankan, lebih baik pemerintah memberi subsidi langsung ke rumah tangga miskin. Apalagi tujuan awal subsidi adalah mengurangi beban masyarakat miskin.

Dia menyebutkan, BBM bukan energi terbarukan sehingga jika disubsidi pasti akan ada kebocoran. Masyarakat akan lebih banyak membeli (BBM) daripada seharusnya. 

“Ini yang dimaksud level efisien. Harusnya harga itu disesuaikan, karena kalau mahal berkurang belinya. Harga itu mencerminkan kelangkaan. Kalau langka, individu akan mengurangi konsumsi,” kata dia.

Petugas memegang nozzle BBM di SPBU.

Photo :
  • ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

Menurut Ardiyanto, tidak adanya kenaikan harga BBM sejak awal harga minyak terus meroket dari level US$90 melewati US$ 100 per barel merupakan bentuk itikad baik pemerintah di masa sulit akibat dampak pandemi COVID-19. 
Seharusnya, lanjut dia, badan usaha mengikuti naik turunnya harga minyak dengan melakukan penyesuaian harga BBM. Apalagi subsidi kompensasi juga tidak gratis, namun berasal dari realokasi APBN.

“Itu sebenarnya bisa dikeluarkan buat yang lain, mungkin juga lebih bermanfaat untuk kesehatan dan pendidikan. Sebenarnya kita kehilangan kesempatan mendanai program lain,” ungkapnya.

Shock Ekonomi

Ardiyanto menilai subsidi seharusnya itu tidak langsung dilepas ketika ada masalah seperti saat ini, yaitu tingginya harga minyak mentah sehinga mempengaruhi harga BBM di dalam negeri. 

Karena, kata dia ketika keuangan tidak kuat lalu subsidi dilepas atau dikurangi drastis yang terjadi adalah shock perekonomian akan besar.

“Orang akan sulit menyesuaikan diri. Inti masalahnya adalah perilaku masyarakat. Seberapa besar konsumsi BBM itu bisa ditata perilakunya. Ketika harga dinaikan sedikit demi sedikit orang bisa mengurangi konsumsi. Tapi kalau diminta mengurangi konsumsi drastis itu sulit,” kata dia.

Seperti diketahui, berdasarkan hasil RDP antara Menteri ESDM dan Komosi VII DPR telah disepakati beberapa kebijakan yaitu penambahan kuota Solar dan Pertalite. 

Selain itu, dalam Raker tersebut, Menteri ESDM menyampaikan strategi jangka pendek pemerintah pemerintah untuk menyesuaikan harga Solar, Pertalite, dan LPG 3 kg.  

Hal ini merupakan dampak dari harga minyak mentah dunia yang melewati US$ 100 per barel sedangkan asumsi harga minyak Indonesia (ICP) US$ 63 per barel. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya