Alasan Harga Keekonomian BBM RI Cukup Mahal Saat Ini

Nozzle BBM jenis Dexlite di SPBU Pertamina Abdul Muis
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

VIVA – Kenaikan harga Pertamax yang dilakukan Pertamina saat ini masih banyak disesalkan oleh masyarakat. Bahkan, masih saja ada yang berpandangan bahwa harga BBM tersebut dijual terlalu tinggi di Indonesia. 

Ini Pertimbangan Komisi B DPRD DKI Bahas Kenaikan Tarif Transjakarta

Padahal, penjelasan sederhananya kenaikan harga BBM saat ini lantaran harga minyak mentah dunia yang juga sedang tinggi. Dan tidak semua produksi minyak mentah nasional berasal dari lapangan migas Pertamina.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, mengatakan dengan tidak semua produksi minyak mentah nasional berasal dari Pertamina maka perhitungan harga keekonomian bahan bakar minyak (BBM) berdasarkan biaya produksi minyak di lapangan migas saja dinilai tidak proporsional. 

Polusi Naik Lagi, Komisi B DPRD DKI Beberkan Dampak Armada Bus Pakai BBM

Baca juga: Perintah Jokowi ke Menhub Usai Resmikan Bandara Trunojoyo Madura

Faktanya, sebagian minyak mentah yang menjadi salah satu komponen untuk BBM merupakan bagian pemerintah, produksi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) lainnya dan juga yang berasal dari pengadaan impor. 

BPH Migas Buka Suara soal Isu Subsidi BBM Pertalite Bakal Dialihkan ke Pertamax

Dengan demikian, semuanya mesti dibeli Pertamina dengan harga market sehingga biaya produksi BBM akan meningkat seiring kenaikan harga minyak mentah global.

Selain itu, Komaidi mengingatkan bahwa pada era 80-90 Indonesia memang penghasil minyak, yaitu mencapai 1,7 juta barel per hari (bph) dan anggota aktif Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC). Sedangkan konsumsi BBM domestik saat itu masih rendah, yaitu sekitar 300 ribuan bph.

“Namun sejak 2008 kita resmi keluar dari keanggotaan OPEC karena sudah menjadi net importir. Produksi dalam negeri tak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan yang pesat sehingga harus impor,” kata Komaidi dalam diskusi dengan media dikutip Rabu 20 April 2022.

Untuk itu, Komaidi menilai bahwa tudingan BBM terlalu mahal salah kaprah. Hal ini mengacu pada klaim pihak yang tidak paham yang menyebutkan bahwa produksi minyak mentah hanya Rp1.772 per liter. Padahal harga internasional per Maret 2022 mencapai Rp10.209 per liter.  

“Asumsi harga minyak mentah US$19,5 per barel itu cost production dari salah satu lapangan. Bukan harga jual minyak mentah. Acuannya sudah jelas, domestik itu ICP. Harga ICP Maret US$113 per barel, jauh di atas asumsi dalam APBN 2022 yang US$63 per barel,” ujarnya.

Petugas memegang nozzle BBM di SPBU.

Photo :
  • ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

Selain itu, Komaidi juga mengungkapkan bahwa konsumsi BBM nasional saat ini telah mencapai 1,6 juta bph, namun produksi minyak mentah yang diolah jadi BBM kurang dari 750 ribuan bph. 

“Dari total produksi itu, kita hanya dapat sekitar 480 ribuan bph karena sebagian digunakan sebagai cost recovery, dikembalikan ke kontraktor sebagai bagi hasil,” ungkap dia.

Menurut Komaidi, perhitungan menyeluruh harga minyak internasional dan domestik akan lebih adil (fair) untuk mengetahui keekonomian harga BBM. Biaya produksi hanya bagian dari harga jual. 

Ada komponen biaya lain yang sama seperti negara lain, salah satunya adalah harga minyak global, biaya pengolahan/ pengilangan, biaya distribusi serta transportasi, termasuk penyimpanan dan lain-lain. “Selain itu, ada pajak dan margin badan usaha,” ujarnya.

"Kalau mau fair kita hitung menyeluruh sekian persen acuan harga internasional dan domestik. Tapi bedanya tidak jauh. Misalnya domestik ICP. Itu kalau dibandingkan WTI, ICP lebih mahal karena kualitasnya di atas Brent,” tambahnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya