Kabar Simplifikasi Tarif CHT Bakal Diteruskan Bikin Industri Resah

Tarif Cukai Meningkat, Pengawasan Diperketat
Sumber :

VIVA Bisnis – Kementerian Keuangan pada tahun ini memutuskan menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok mencapai 12 persen. Kebijakan itu diterapkan berbarengan dengan simplifikasi struktur tarif cukai rokok dari sebelumnya 10 layer menjadi 8 layer.

Kenaikan Cukai Picu Turunnya Produksi Rokok dan Penerimaan Negara

Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 192 Tahun 2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, dan Tembakau Iris.

Kini beredar kabar, kalau Sri Mulyani akan melanjutkan kebijakan simplifikasi hingga menjadi 5 layer. Sejumlah aspek yang ditekankan, yaitu golongan Sigaret Kretek Mesin (SKM) serta Sigaret Putih Mesin (SPM), penyatuan Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan 1A dan 1 B, dan penurunan batas kuota dari 3 juta batang ke 2 juta batang. 

Aturan Tembakau RPP Kesehatan Dikritik, Aprindo: Rawan Pungli

Merespons kabar tersebut, Ketua Gabungan Pabrik Rokok (Gapero) Surabaya Sulami Bahar mengatakan, pihaknya keberatan dengan rencana tersebut. Sebab, pasti akan mencekik para pelaku industri tembakau kecil dalam melanjutkan usahanya.  

"Banyak perusahaan rokok yang kelimpungan. Sekarang beda dari tarif cukai antara golongan 1A dengan 1B itu cukup signifikan. Artinya, di situ kalau digabung jadi satu yang golongan 1B akan naik tarifnya menuju golongan 1A. Apalagi kalau golongan 1A dinaikkan berarti kan naiknya dua kali," kata Sulami kepada wartawan, dikutip dari keterangannya, Minggu, 17 Juli 2022.

Pecinta Hewan Merapat, Jakarta Pet Expo 2024 Akan Hadir di Kemayoran!

Sulami mengungkapkan, saat ini saja adanya penerapan PMK Nomor 192 Tahun 2021 masih amat berat dirasakan oleh pelaku industri tembakau menengah ke bawah. Karena regulasi itu membuat produksi rokok menurun. 

"(PMK Nomor 192 Tahun 2021) itu kenaikan tarif cukai 12 persen. Nah, dampaknya untuk industri mengalami penurunan produksi karena harganya luar biasa," ujarnya. 

Dia menegaskan, jika perusahaan mengalami kesusahan, hal itu akan berimplikasi kepada pekerja. Secara otomatis petani pun akan terdampak.

Ganjar saat berbincang dengan petani tembakau asal Wonosobo.

Photo :
  • VIVA/Teguh Joko Sutrisno

"Akibatnya, pendapatan berkurang. Jadi kalau sudah kayak begitu pendapatan negara juga berkurang. Ujung-ujungnya, nanti rokok ilegal yang semakin marak, pasti larinya ke sana," ujarnya. 

Sulami juga menambahkan, bila Pemerintah peduli terhadap keberlangsungan industri tembakau, seharusnya fokus terhadap pemberantasan rokok ilegal. Apalagi jelas telah membuat negara kehilangan pendapatan.

Sementara itu, ekonom dari Universitas Negeri Semarang (UNS) Agus Trihatmoko menduga dengan adanya kebijakan simplifikasi nanti malah mendorong terjadinya monopoli. Yaitu pemain besar menguasai pasar dan mematikan pemain kecil. 

"Itu baru pakai logika bisnis. Ada yang irasional untuk mematikan yang kecil-kecil, perusahaan besar itu jual rugi dulu. Ketika itu terjadi, namanya rokok ini kan menyangkut soal rasa dan selera. Orang ketika sudah beralih ke produk (pemain besar), bisa jadi yang kecil mati dan menengah juga. Oleh sebab itu menjadi sebuah kekhawatiran," ujarnya. 

Penolakan simplifikasi juga datang dari Anggota Komisi XI DPR RI Kamrussamad. Menurutnya, penyederhanaan ini akan melemahkan daya saing dan membahayakan pabrikan menengah kecil. 

"Terutama dari sisi tenaga kerjanya yang cepat atau lambat akan kehilangan lapangan pekerjaannya. Sebab, mau tidak mau, golongan yang dihilangkan layernya harus naik ke golongan atasnya akibat peraturan, bukan karena kemampuan dan penambahan produksi," kata dia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya