Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI 2022 Lebih Baik dari China

Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik, Aaditya Mattoo.
Sumber :
  • VIVA/Anisa Aulia

VIVA Bisnis – Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi RI di 2022 lebih baik bila dibandingkan dengan China. Ekonomi Indonesia tahun ini diproyeksi tumbuh sebesar 5,1 persen, sedangkan China 2,8 persen. Indonesia dinilai lebih baik karena tidak bergantung pada permintaan ekspor.

Neta Mulai Rakit Mobil Listrik di Indonesia

"China yang sebelumnya memimpin proses pemulihan kawasan ini diproyeksikan bertumbuh sebesar 2,8 persen pada tahun 2022," ujar Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik, Aaditya Mattoo dalam telekonferensi, Selasa 27 September 2022.

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Ditopang Investasi Swasta

Sri Mulyani Prediksi Ekonomi RI Kuartal I-2024 Tumbuh 5,17 Persen

Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi.

Photo :
  • VIVA/M Ali Wafa

Aaditya mengatakan, faktor penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia didapat melalui investasi swasta dan kebangkitan konsumsi. Selain itu, kebijakan ekonomi makro Indonesia dinilai mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.

Kakek 87 Tahun Ini Bikin Heboh Usai Jadi Model Catwalk di China Fashion Week

"Pertumbuhan yang melambat di China berdampak negatif pada ekspor negara-negara ke China. Tetapi Indonesia tidak terlalu bergantung pada permintaan ekspor, dibandingkan negara-negara lain di kawasan, seperti Vietnam dan Malaysia," jelasnya.

Sebelumnya, Bank Dunia memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh melambat menjadi 4,6 persen di tahun 2022 dan hanya 4,7 persen pada tahun 2023. Proyeksi itu dengan skenario penurunan ekonomi global.

"Lingkungan ekonomi global dapat menciptakan tekanan ke bawah dalam proyeksi tersebut," ujar Ekonom Utama Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste Habib Rab dalam acara Peluncuran Laporan "Indonesia Economic Prospects June 2022" yang dipantau secara daring di Jakarta, Juni 2022.

Ia menjelaskan, penurunan pertumbuhan ekonomi global secara luas dapat menyebabkan penurunan permintaan ekspor komoditas, memicu pengurangan produksi, dan harga yang lebih tinggi. Hal tersebut dapat memaksa realokasi fiskal dari pembelanjaan yang mendukung pertumbuhan ekonomi kepada subsidi yang tidak ditargetkan.

"Ini juga bisa berarti biaya pinjaman yang lebih tinggi dan investasi yang lebih rendah," tuturnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya