BI Waspadai Perlambatan Ekonomi China dan Menguatnya Ekonomi AS

Gubernur BI Perry Warjiyo.
Sumber :
  • Anisa Aulia/VIVA.

Jakarta – Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo mengungkapkan latar belakang pihaknya mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi global sebesar 2,7 persen. Salah satu indikatornya adalah ketidakpastian perekonomian global yang masih tetap tinggi hingga kuartal III-2023.

Ekonomi Global Diguncang Konflik Geopolitik, RI Resesi Ditegaskan Jauh dari Resesi

"Seiring adanya kecenderungan bahwa ekonomi China melambat, sementara ekonomi Amerika Serikat semakin kuat," kata Perry dalam telekonferensi, Kamis, 21 September 2023.

Ilustrasi pertumbuhan ekonomi China.

Photo :
  • TheRichest.com
Menjadi Tulang Punggung Pengembangan Usaha Ultra Mikro Indonesia, PNM Ikuti 57th APEC SMEWG

Dia menjelaskan, melemahnya permintaan domestik dan masalah di sektor properti China, telah menjadi salah satu biang kerok utama dari perlambatan ekonomi di Negeri Tirai Bambu tersebut.

"Ditambah dengan anjloknya ekspor China, sebagai buntut dari ekonomi global yang melambat," ujarnya.

Sri Mulyani Prediksi Ekonomi RI Kuartal I-2024 Tumbuh 5,17 Persen

Di sisi lain, penguatan konsumsi rumah tangga seiring dengan kenaikan upah dan pemanfaatan ekses tabungan di perekonomian AS, telah membuat ekonomi Sang Paman Sam menguat.

Karenanya, Perry pun memperkirakan bahwa laju inflasi global akan tetap tinggi, akibat sejumlah hal seperti tekanan inflasi di sektor jasa, kenaikan harga minyak, dan masih ketatnya pasar tenaga kerja. "Sehingga mendorong suku bunga global berada pada tingkat yang tetap tinggi," kata Perry.

Selain itu, lanjut Perry, BI juga memperkirakan bahwa The Fed akan kembali menaikkan suku bunga pada November 2023 mendatang. Hal itu diperkirakan akan dilakukan The Fed, setelah sebelumnya suku bunga dipertahankan pada tingkat 5,25 sampai 5,5 persen pada pertemuan FOMC September ini.

"Berlanjutnya kenaikan suku bunga The Fed akan semakin meningkatkan ketidakpastian di pasar keuangan global, terutama di pasar negara berkembang yang menyebabkan pelemahan nilai tukar di negara berkembang semakin tinggi," ujar Perry.

"Karenanya, masih dibutuhkan respons kebijakan untuk memitigasi dampak negatif dari rambatan global tersebut," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya