OJK dan LPS Cermati Efek Resesi Inggris-Jepang ke RI

Ilustrasi resesi ekonomi/krisis ekonomi global.
Sumber :
  • Unsplash

Jakarta – Jepang dan Inggris resmi masuk ke dalam jurang resesi. Hal ini dipicu oleh ekonomi kedua negara itu mengalami kontraksi dalam dua kuartal berturut-turut. 

Melemah di Level Rp 16.220 per Dolar AS, Rupiah Diproyeksi Menguat

Lalu dengan resesinya kedua negara maju tersebut, bagaimana dampaknya ke Indonesia? 

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar mengatakan pihaknya akan terus memantau dampak resesi Jepang dan Inggris terhadap sektor keuangan Indonesia. 

Harga Emas Hari Ini 25 April 2024: Produk Antam Melorot, Global Bervariasi

"Kita akan cermati sekiranya ada dampaknya, tapi sejauh ini kami tidak mengharapkan dan antisipasi ada dampak terlalu berat. Karena kan hal yang juga sudah kita lihat beberapa waktu terakhir ini," ujar Mahendra di Hotel St Regis, Jakarta, Selasa, 20 Februari 2024.

Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar

Photo :
  • VIVA.co.id/Anisa Aulia
Guru dan IRT Jadi Korban Pinjol Ilegal Terbanyak, OJK: Cek Legalitas dan Logis Sebelum Pinjam

Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa meminta masyarakat tidak langsung percaya dengan ramalan International Monetary Fund (IMF) soal gejolak global. Menurutnya, kinerja ekonomi sejumlah negara maju masih sangat apik.

Purbaya menuturkan, kinerja ekonomi Amerika Serikat (AS) masih kuat, hal ini berkat stimulus yang diberikan China.

"AS masih kuat, kan China udah ngasih stimulus untuk perekonomian. Amerika sudah ekspansif kebijakannya, cuma sinyalnya seolah-olah kontraktif. Jadi anda nggak usah takut ramalan IMF akan global ini," jelasnya. 

Purbaya memperkirakan, ekonomi global di 2024 masih tetap tumbuh meski tidak terlalu ekspansif. Namun, dia mengatakan masih ada kemungkinan resesi jika perang global melibatkan partai besar.

"Kalau kita fokus domestik, kita masih bisa selamat. Apalagi global harusnya masih tumbuh 3,2 persen. Tahun lalu (IMF) katanya lebih buruk tapi angkanya masih 3,2 persen. Jadi IMF juga nggak konsisten kalau dia bilang lebih buruk harusnya angkanya lebih rendah," terangnya. 

"Jadi anda jangan percaya juga dengan lembaga internasional," sambungnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya