Krisis Kartu Kredit Menimpa Indonesia?

Bank Indonesia
Sumber :
  • VIVAnews/Nurcholis Anhari Lubis

VIVAnews – Di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta yang mengadakan midnight sale, dua wanita muda dengan tentengan barang belanjaan melakukan antrian pembayaran. Kasir bertanya, “Apakah Ibu punya kartu kredit dari Bank X? Jika membayar dengan kartu kredit Bank X, Ibu mendapatkan tambahan potongan harga 15 persen.” Dengan mata berbinar wanita tersebut mengeluarkan dompetnya. 

Mahfud MD Blak-blakan Soal Langkah Politik Berikutnya Usai Pilpres 2024

Tampak sederet kartu kredit berwarna kuning keemasan tersusun rapi. Setelah melihat sebentar, wanita itu kemudian mengeluarkan kartu kredit dari Bank X. Wanita itu lalu bertanya ke temannya, “Kamu punya kan kartu kredit dari Bank X, lumayan loh lagi banyak promosi!”.

Lalu temannya menunjukan wajah penyesalan “Aduuuh, belum punya nih. Besok deh aku apply,” jawabnya enteng. Padahal di dompet teman wanita itu, sudah ada beberapa kartu kredit dari berbagai bank.  Di belakang kedua wanita itu, antrian pembeli juga tampak menunggu untuk membayar. Hampir semuanya membayar dengan kartu kredit.

Ekonomi Global Diguncang Konflik Geopolitik, RI Resesi Ditegaskan Jauh dari Resesi

Kejadian-kejadian seperti itu seringkali kita dengar. Bahkan banyak di antara kita yang menjadi pelakunya. Seringkali kita memiliki kartu kredit bukan karena kebutuhan, tetapi lebih karena untuk gaya-gayaan dengan kepemilikan kartu kredit lebih dari dua buah. 

Memang, di satu sisi kemudahan bertransaksi dengan kartu kredit sangat membantu masyarakat dalam bertansaksi. Jauh lebih simple, nyaman, dan aman dibandingkan dengan membawa uang tunai dengan jumlah besar. Tapi perlu diingat,  ada risiko menghantui pengguna kartu kredit, yakni ketidakmampuan membayar cicilan. Apalagi dengan bunga setinggi langit yang dibebankan oleh penerbit kartu kredit. 

5 Orang jadi Tersangka Baru Korupsi Timah, Siapa Saja Mereka?

Cobalah kita ingat-ingat, sudah berapa orang mengeluh soal tagihan kartu kredit mencekik leher. Jika hal itu dialami oleh beberapa pemegang kartu kredit mungkin tidak menjadi masalah. Tapi coba bayangkan, jika kesulitan bayar tersebut terjadi pada sebagian besar pemegang kartu kredit. Wah, dampaknya bisa berabe, karena industri keuangan bisa terseret ke dalam jurang krisis hanya karena penggunaan kartu kredit yang  tidak  berhati-hati seperti yang terjadi pada tahun 2003 di Korea Selatan yang nota-bene lebih maju dari Indonesia. 

Pada tahun 1997, pemerintah Korea Selatan mencoba menumbuhkan perekonomiannya melalui peningkatan sektor konsumsi masyarakat. Salah satunya dengan memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk memperoleh kartu kredit. 

Sehingga, seseorang dapat dengan mudah memiliki lebih dari lima kartu kredit. Mengapa lembaga keuangan di sana jor-joran memberikan kartu kredit? Ternyata, salah satu faktornya adalah karena Biro Kredit di Korea Selatan saat itu hanya menyediakan informasi terhadap debitur yang mempunyai masalah kredit saja atau negative list. 

Masalah akan muncul ketika kepemilikan kartu kredit oleh perorangan sudah sedemikian melonjak dan penggunaannya sudah melebihi kemampuan membayar (repayment capacity). Jika kondisi ini terjadi, lembaga keuangan tidak dapat akurat menilai potensi risiko ketidakmampuan membayar dari pemegang kartu yang ingin menambah kartu kredit karena potensi risiko tidak tergambar dalam negative list. 

Buaian kemudahan berbelanja dengan kartu kredit telah melenakan banyak orang Korea Selatan saat itu. Mereka lupa, bahwa pemakaian berlebihan dan bunga tinggi telah menghadang serta menggerus kemampuan mereka untuk membayar.  

Tanpa  disadari, belanja masyarakat dengan kartu kredit melonjak 6 kali lipat! Jika di tahun 1999 hanya berjumlah 91 triliun Korean Won (KW), di tahun 2002 menjadi di atas 620 triliun KW atau 86 persen dari total GDP Korea Selatan saat itu. 

Jumlah yang sangat fantastis untuk penggunaan kartu kredit. Akibatnya, tingkat kartu kredit bermasalah naik dengan cepat menembus angka 28 persen dengan total gagal bayar mencapai 3,7 juta kartu. Korea Selatan tidak dapat mengelak dari krisis ekonomi kedua karena kartu kredit. 

Belajar dari pengalaman itu, pemerintah Korea Selatan kemudian memperketat persyaratan untuk memperoleh kartu kredit. Mendirikan lembaga khusus untuk mengurai permasalahan kredit bermasalah akibat kartu kredit.

Dalam konteks informasi kredit, pemerintah Korea Selatan juga memperkuat infrastruktur dengan pendirian Biro Kredit baru dan penambahan cakupan informasi menjadi negative dan positive list. Tujuannya tentu saja untuk meningkatkan kemampuan prediksi terhadap calon debitur dan manajemen risiko kredit dari lembaga keuangan. Walaupun tertatih-tatih, krisis kartu kredit akhirnya dapat teratasi.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Apakah kita akan menghadapi situasi yang sama? Jika dilihat dari tren kepemilikan kartu  kredit, tampaknya ada kecenderungan untuk memiliki kartu kredit lebih dari kebutuhan. 

Di sebuah bank besar, di unit bisnis yang menangani kartu kredit, rata-rata setiap harinya dilakukan permintaan IDI Historis sebanyak lebih dari 2.000 buah. Luar biasa! Permintaan itu hanya untuk kartu kredit di satu bank,  belum termasuk kredit konsumsi lainnya. Coba bayangkan, berapa jumlah calon pemegang kartu kredit yang diproses setiap bulannya. 

Tahukah Anda, bahwa dari sekitar 40 juta fasilitas kredit yang tercatat di Biro Informasi Kredit (BIK), kurang lebih 9,5 juta fasilitas adalah kartu kredit. Itu artinya hampir seperempat dari fasilitas kredit berbentuk fasilitas kartu kredit. Adapun jumlah debitur kartu kredit saat ini tercatat berjumlah 6,3 juta nasabah. 

Untuk mengantisipasi masalah yang muncul dari maraknya penerbitan kartu kredit, BIK menyuguhkan informasi negative dan positive list yang diharapkan dapat meminimalkan potensi risiko seperti yang terjadi di Korea Selatan karena hanya menyediakan informasi negative list

Kalau membuka data, tumpukan kredit bermasalah di kartu kredit masih ada meski memperlihatkan tren membaik dari Rp3,2 triliun pada tahun 2008  menjadi Rp2,2 triliun pada September 2010. 

Penurunan kredit bermasalah tersebut sejalan dengan permintaan jumlah IDI Historis yang meningkat rata-rata 1,8 juta permintaan per bulan tahun 2008, menjadi sekitar 3,1 juta permintaan per bulannya tahun 2010 sampai dengan bulan September. 

Hal ini menunjukkan indikasi positif dari diterapkannya negative dan positive list oleh BIK di Indonesia. Indikasi positif tersebut patut kita syukuri. Namun, sikap kehati-hatian dan perilaku bijak dalam penggunaan kartu kredit tetap merupakan kunci pengelolaan keuangan pemegang kartu, yang pada akhirnya diharapkan dapat mengurangi potensi risiko terjadinya krisis ekonomi akibat kartu kredit. Setuju kan? (WEBTORIAL)


Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya