Pajak Progresif Tanah, REI: Iklim Investasi Dipertimbangkan

Ketua Umum DPP REI Soelaeman Soemawinata
Sumber :
  • Istimewa

VIVA.co.id – Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia, atau REI, yakin pemerintah akan mempertimbangkan kondisi iklim investasi dan kontribusi pengembang selama ini terhadap pembangunan bangsa dan negara dalam perumusan aturan pajak progresif tanah “mengganggur”.

Jokowi Tawarkan 34 Ribu Hektare Lahan IKN ke Pengusaha Real Estate: Gak Ada Gratisan!

Asosiasi pengembang tertua di Indonesia itu mengaku belum melihat adanya potensi regulasi tersebut dapat mengganggu pasar properti.

Ketua Umum DPP REI, Soelaeman Soemawinata, seperti dikutip dalam keterangannya, Minggu, 12 Februari 2017, menegaskan, sejauh ini belum ada pernyataan pemerintah mengenai rencana penerapan pajak progresif tanah yang dinilai akan menganggu iklim investasi di sektor realestat.

Joko Suranto, Crazy Rich Grobogan Jadi Calon Tunggal Ketua Umum REI

Pihaknya, kata dia, sangat menghargai fungsi pemerintah selaku regulator dan tujuan pemerintah untuk menyejahterakan seluruh rakyat. Meski begitu, REI berharap, pemerintah bisa membuat kriteria yang jelas terkait objek tanah yang dianggap menganggur, atau terlantar tersebut.

“REI masih menunggu kriterianya apa. Jadi, biarkan pemerintah bekerja dulu dan membuat rincian yang jelas. Lihat saja nanti bagaimana, ini kan sesuatu yang belum terjadi. Tetapi, sejauh ini kami melihat dan percaya penuh kalau pemerintah akan mempertimbangkan semua kepentingan masyarakat dari banyak sisi, termasuk pengembang,” ujar Eman, panggilan akrab Soelaeman.

REI Sebut UU Cipta Kerja Jadi Tantangan Utama Sektor Properti di Tahun 2023

Menurut dia, REI belum berkomunikasi dan mengusulkan apapun kepada pemerintah, terkait rencana pajak progresif tanah. Namun, kalau pemerintah membutuhkan masukan, Eman menegaskan kesiapan organisasi yang dipimpinnya.

Di internal, asosiasi tersebut mengaku sudah melakukan kajian dan pembahasan terkait pajak progresif tanah yang siap untuk disampaikan kepada pemerintah kalau diminta.

Seperti diketahui, pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) berencana menerapkan pajak progresif tanah yang tidak digunakan secara produktif. Saat ini, ketentuan tersebut masih dalam tahap pembahasan dan sinkronisasi peraturan.

Menteri ATR/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Sofyan Djalil menyebutkan, tujuan pajak progresif ini adalah untuk menghilangkan spekulan di tanah yang tidak produktif. Dia juga menegaskan, pajak progresif ini akan dikecualikan bagi kawasan industri maupun kawasan perumahan yang lahannya sudah memiliki perencanaan bisnis yang jelas.

Kontribusi pengembang

Lebih lanjut, Eman mengatakan, selama ini pelaku usaha di sektor properti telah memberikan kontribusi nyata bagi negara. Tidak hanya sebagai agen pembangunan, tetapi terbukti juga sudah membuka banyak lapangan kerja dan salah satu penyumbang pajak utama untuk negara.

Eman menyebutkan, pembangunan properti berdampak terhadap bergeraknya 174 usaha turunannya, dari mulai persiapan pembangunan berlangsung hingga pascapembangunan.

“Saya kira, pengembang itu punya fungsi strategis. Kalau agent of development tidak bisa bekerja, maka roda ekonomi juga tidak bisa jalan. Jadi, kami dan pemerintah punya tujuan yang sama, yaitu untuk menyejahterakan rakyat. Karena itu, REI berharap pemerintah juga mempertimbangkan kontribusi pengembang bagi pembangunan bangsa,” ujar Eman.

Di sisi lain, REI berharap, pemerintah dan masyarakat dapat membedakan antara pengembang dan spekulan. Menurut Eman, pengembang melihat tanah sebagai bahan baku dasar dari pembangunan, bukan hanya sebatas motif keuntungan semata.  Pengembang dalam melakukan pembebasan lahan sudah melalui prosedur panjang dari izin lokasi, berdasarkan tata ruang yang diatur pemerintah daerah, memiliki masterplan, kemudian siteplan. Jadi, izin lokasinya keluar baru pembebasan lahan dilakukan pengembang.

Kemudian, pengembang jelas membangun infrastruktur kawasan. Di mana, infrastruktur tersebut bukan hanya dinikmati penghuni perumahan yang dikembangkan, namun seluruh masyarakat dapat mengakses jalan yang dibangun oleh pengembang. Selain itu, pengembang juga mengalokasikan 40 persen lahannya untuk kepentingan publik berupa fasilitas umum dan fasilitas sosial. Dengan kata lain, pengembang menciptakan proses nilai tambah terhadap lahan yang dimiliki.

“Tapi memang, kemampuan pengembang membangun itu lebih lambat dibandingkan membebaskan tanahnya. Butuh proses dan tahapan, sehingga tidak bisa sekaligus dibangun seluruhnya. Banyak faktor yang dipertimbangkan, tidak hanya modal tetapi juga kondisi pasarnya,” papar Eman.

Itu semua berbeda dengan spekulan seperti yang dimaksud Pemerintah , di mana pembebasan lahan dilakukan tanpa perencanaan pengembangan yang jelas, tidak menyiapkan dan membangun infrastrukturnya, bahkan mungkin tanpa izin. Spekulan ini menguasai tanah, kemudian membiarkan dan menunggu harga naik untuk dijual kembali.

Tidak jarang, sebut Eman, spekulan membeli tanah di areal sekitar proyek pengembang dengan harapan bisa meraup keuntungan dari pengembangan yang dilakukan developer. Caranya dengan membeli tanah dari penduduk dengan harga murah, untuk nanti dijual kepada pengembang dengan harga tinggi ketika mengetahui tanah itu dibutuhkan pengembang.

“Aksi spekulan ini justru sangat merugikan semua pihak termasuk pengembang,” kata Eman. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya