Logo BBC

Jadi Relawan Uji Vaksin Setelah 10 Temannya Meninggal akibat COVID-19

Anil Hebbar memutuskan jadi relawan uji coba vaksin Covid-19 setelah kehilangan teman-teman dekatnya.-BBC
Anil Hebbar memutuskan jadi relawan uji coba vaksin Covid-19 setelah kehilangan teman-teman dekatnya.-BBC
Sumber :
  • bbc

Anil Hebbar kehilangan teman dekatnya yang meninggal karena Covid-19 pada bulan September.

Temannya meninggal setelah dibawa ke tiga rumah sakit selama lima hari di kota Mumbai, India.

Hebbar, yang menjalankan sebuah perusahaan peralatan medis, mengunjungi temannnya itu, seorang pekerja sosial terkenal berusia 62 tahun, di unit perawatan intensif, beberapa jam sebelum ia menghembuskan nafas terakhir.

Tak hanya pekerja sosial itu, Hebbar juga kehilangan teman-teman lainnya selama pandemi.

Sejak Maret, 10 orang yang ia kenal baik meninggal karena virus corona di Mumbai, kota yang dengan cepat muncul sebagai pusat penularan wabah. Mumbai melaporkan lebih dari 230.000 kasus sejauh ini.

"Semua ini sangat bertubi-tubi. Saya merasa ini harus dihentikan. Itulah salah satu alasan saya memutuskan untuk menjadi relawan uji coba vaksin Covid-19," kata Hebbar, 56.

Awal bulan ini, Hebbar mendaftarkan dirinya untuk uji klinis untuk vaksin yang dikembangkan oleh grup farmasi AstraZeneca dan Universitas Oxford.

Covid-19, India
Reuters
Sekitar 1.600 orang relawan telah diberi vaksin asal Oxford di India.

Vaksin ini dibuat dari virus yang berupa versi lemah dari virus flu yang menyebabkan infeksi pada simpanse . Virus ini telah diubah secara genetik sehingga tidak mungkin berkembang pada manusia, menurut Dr Tania Thomas dari Oxford Vaccine Group.

Ini juga salah satu vaksin Covid-19 yang paling menjanjikan di antara 180 vaksin yang diuji di seluruh dunia. Belum ada yang menyelesaikan uji klinis.

Hebbar termasuk di antara lebih dari 20.000 relawan yang telah mendaftar untuk uji coba ini di Inggris, Brasil, Afrika Selatan, dan India.

Di India, ia tergabung dengan 1.600 relawan yang telah diberi vaksin di 15 pusat kesehatan di seluruh negeri. Dengan lebih dari tujuh juta kasus positif yang dilaporkan, India tercatat memiliki kasus tertinggi kedua di dunia setelah Amerika Serikat

Percobaan akan mencari tahu apakah vaksin dapat menyebabkan respons kekebalan yang baik dan apakah menyebabkan efek samping yang membahayakan.

Peserta dewasa akan diacak untuk menerima satu atau dua dosis vaksin atau vaksin berlisensi yang akan digunakan sebagai "kontrol" untuk perbandingan.

Tidak mudah bagi Hebbar untuk meyakinkan keluarganya ketika ia memutuskan untuk jadi relawan dalam uji coba vaksin yang berisiko, dan yang pada dasarnya `demi kepentingan orang banyak`.

Istrinya, seorang guru besar studi pembangunan di sekolah ilmu sosial terkemuka, tidak senang akan keputusan Hebbar itu.

Putrinya yang berusia 11 tahun menanyainya tentang apa arti uji coba vaksin. Laporan tentang penangguhan singkat uji coba setelah dua relawan jatuh sakit di Inggris memicu kecemasan keluarga Hebbar.

Tapi tidak untuk Hebbar. "Saya tidak takut sama sekali. Saya percaya pada sains," katanya.

Covid-19, India
EPA
Mumbai merupakan salah satu kota di India dengan jumlah kasus Covid-19 yang tinggi.

 

Pada awal Oktober, ia menelepon sebuah rumah sakit di Mumbai yang sedang melakukan uji coba tahap kedua dan ketiga.

Ia diberitahu bahwa 55 orang telah menjadi relawan untuk percobaan enam bulan, tetapi rumah sakit mengalami `kesulitan` dalam menemukan 45 orang lainya dalam percobaan 100 relawan yang direncanakan.

Keesokan paginya, Hebbar pergi ke rumah sakit, dokter mengambil sampel darah juga melakukan tes usap (swab test).

Peserta uji coba harus dites negatif untuk SARS-CoV2, virus yang menyebabkan Covid-19, dan dalam keadaan sehat, serta khusus untuk perempuan, tidak hamil.

Malam itu rumah sakit memanggil Hebbar dan mengatakan bahwa ia dapat mengikuti uji coba vaksin.

Keesokan harinya, dokter memberi pengarahan tentang vaksin eksperimental, memintanya menandatangani formulir persetujuan dan memberinya satu suntikan vaksin.

Mereka memintanya untuk beristirahat selama 30 menit, meresepkan pil antidemam dan membayar 500 rupee (sekitar Rp99.000) sebagai biaya partisipasi.

Dokter mengatakan kepadanya bahwa tiga orang dari 55 relawan mengalami "demam ringan". Lalu mereka menyuruh Hebbar kembali pada awal November untuk menerima dosis kedua.

Ia juga harus kontrol ke rumah sakit sekali setiap bulan selama enam bulan berikutnya untuk pemeriksaan, dan menelepon mereka jika ia "merasa ada yang tidak biasa".

"Proses itu sangat mulus dan tanpa rasa sakit. Saya hanya merasa sedikit lelah, mungkin karena saya sering berkendara di sekitar kota," kata Hebbar.

Ketika lockdown besar-besaran di India dimulai pada akhir Maret, Hebbar menutup perusahaannya, mengirim 45 orang karyawannya pulang dan terjun menjadi pekerja sosial.

"Situasi itu mengerikan. Lockdown dilakukan dengan sangat buruk," katanya.

Sejak itu, katanya, ia telah berkendara sejauh 28.000 km di dalam kota Mumbai dan sekitarnya, mendistribusikan lebih dari satu juta makanan dan kebutuhan pokok serta menjalankan tempat penampungan bagi para tunawisma dan pekerja yang terlantar yang kehilangan pekerjaan mereka.

"Saya telah turun ke jalan, mengunjungi permukiman kumuh dan ICU rumah sakit, bertemu orang-orang dan membagikan makanan serta bahan bantuan selama beberapa bulan terakhir. Saya telah memakai masker. Tapi saya tidak memiliki ketakutan yang tidak rasional terhadap virus," katanya. .

Hebbar bahkan berhasil meyakinkan beberapa temannya untuk menjadi relawan vaksin.

"Pandemi telah menjadi pengalaman yang mengubah hidup. Tapi saya sangat optimistis, vaksin ini akan berhasil. Kita akan mengalahkan virus ini bersama-sama," katanya.