Logo BBC

Cerita Keturunan Papua yang Kehilangan Tanah Air

BBC Indonesia
BBC Indonesia
Sumber :
  • bbc

Julia kini berumur 24 tahun. Dia lahir di Belanda ketika Orde Baru nyaris tumbang di Indonesia.

Peristiwa Biak Berdarah terjadi pada Juli 1998. Julia masih bayi saat kejadian yang diawali pengibaran Bendera Bintang Kejora dan orasi kemerdekaan Papua itu berakhir pada tewasnya sejumlah warga warga sipil dan penangkapan massal oleh aparat.

Julia juga belum masuk ke bangku sekolah saat Ketua Presidium Dewan Papua, Theys Hiyo Eluay, dibunuh anggota Kopassus tahun 2002.

Berbagai peristiwa di Papua terasa begitu jauh dari Julia pada masa itu.

Di Belanda, pada masa kanak-kanaknya, Julia mulai mendengar ragam cerita tentang sebuah pulau yang tak bisa dibayangkan. Nicholaas menceritakannya kisah cenderawasih, "burung dari surga" yang hanya hidup di Papua.

"Aku hidup di Belanda dan begitu menyatu dengan kehidupan di negara ini, dulu aku tidak pernah menganggap Papua sebagai bagian dari diriku," kata Julia.

"Sulit untuk menerima identitas kepapuaan karena semua orang di sekitarku adalah orang berkulit putih dan aku sedang berusaha tumbuh dalam masyarakat ini.

"Apa yang diceritakan kakek terdengar seperti mitos, sesuatu yang disebut surga dan burung cenderawasih. Aku dulu tidak percaya pada kisah-kisah itu," ucapnya.

Dan hari-hari Julia pun berlalu. Papua tidak mendapat tempat dalam kehidupan masa kecil dan remajanya.

Sampai pada tahun 2009, ayahnya, Nico, bersama tantenya, Nancy, terbang ke Indonesia untuk menemani kakeknya untuk pertama kalinya pulang ke Papua.

Pada momen itu, segala hal yang berkaitan dengan Papua mulai masuk ke relung pikirannya.

Saat kakeknya memutuskan untuk menetap di Jakarta dan meninggalkan status sebagai eksil pada 2010, sejarah keluarga Jouwe dalam bingkai Papua semakin mengambil tempat dalam kehidupan Julia.

"Aku mulai menyadari bahwa keluargaku memiliki cerita yang luar biasa," ujarnya.

Namun mata Julia baru benar-benar terbuka melihat Papua pada tahun 2017. Ketika itu Nicholaas baru saja wafat di Jakarta. Situasi akhirnya membawa Julia melihat pulau yang belasan tahun lalu dikisahkan kakeknya.

Julia untuk pertama kalinya menginjakkan kakinya di Papua—tanah leluhurnya. Bersama keluarga besar Jouwe, Julia mengantar Nicholaas ke tempat peristirahatan terakhir.

Laki-laki yang dulu digadang-gadang akan memimpin kemerdekaan Papua dari Belanda itu dimakamkan di Pulau Kosong, diseberang Pelabuhan Jayapura. Nicholaas wafat dalam status ondoafi atau pemimpin tertinggi dalam klannya.

"Itu adalah momen saat aku terlibat secara personal dengan keluarga besarku. Saat itu aku mulai membaca catatan sejarah tentang apa yang terjadi dengan Papua, terutama keluargaku," kata Julia.

"Momen itu sungguh membuka mataku. Aku tidak pernah melihat kakek dihormati dan dirayakan oleh banyak orang di Belanda. Di negara ini tidak ada yang tahu siapa dia dan peran yang pernah dilakukan.

"Ketika aku hadir dalam pemakaman itu, melihat orang-orang begitu tersentuh dan menangis, aku menyadari sesuatu yang besar, yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya," ujar Julia.

Dari situ Julia pulang ke Belanda membawa hasrat mendalami diri dan latar belakangnya. Jarak ribuan kilometer kembali memisahkannya dari Papua, tapi dia berusaha tetap menyalakan kepapuaannya. Dia rutin berkomunikasi dengan saudara-saudarinya di Papua.

Kata-kata Nicholaas kepadanya terus teringang dalam benaknya. "Suatu hari nanti kamu akan membantu orang-orang Papua," ucapnya mengulangi perkataan kakeknya.

Bukan hanya keluarga, Julia juga mengembangkan jejaringnya dengan muda-mudi Papua lain. Dia menggagas Young Papuan Collective bersama Samuel van Voorn, kawannya yang juga berstatus generasi ketiga eksil Papua di Belanda.

Gerakan ini belum menghasilkan apapun, kata Julia. Meski begitu dia berupaya agar ruang kolektif itu bisa menjadi wadah kerja sama generasi muda Papua yang tersebar di berbagai negara.

"Saat ini apa yang kami lakukan tidak politis. Kami ingin bekerja sama dengan mereka yang tinggal di Papua. Mereka tentu tidak nyaman jika wadah ini menyatakan hal-hal yang terlalu politis," ujar Julia.

"Tapi jelas, segala sesuatu yang berkaitan dengan Papua bersifat politis dan sangat sulit untuk menghindari itu," ucapnya.

Dalam beberapa tahun terakhir, Julia aktif sebagai pemengaruh dalam isu hak asasi manusia di Papua. Akun media sosialnya diikuti sekelompok muda-mudi Papua.

Julia menyadari berbagai privilese yang dia miliki. Dia tinggal dan berstatus warga negara Belanda. Yang dia dapatkan, dari pendidikan, jaminan atas rasa aman dan beragam hak dasar lainnya, tidak dimiliki banyak muda-mudi Papua lainnya.

"Aku sungguh ingin menggunakan privilese ini. Ada tanggung jawab moral dan etis di baliknya," kata Julia.

"Namun di sisi lain aku tidak merasakan previlese yang besar. Aku sungguh rindu dengan Papua. Aku tidak bisa merasakannya di sini," ucapnya.

Tulisan ini merupakan bagian dari liputan khusus Otonomi Khusus Papua di situs BBC News Indonesia.

Callistasia Widjaja dan Samuel Robinson berkontribusi untuk liputan ini.