Logo BBC

Kenapa Terjadi Polemik dalam Pengelolaan Air di Jakarta?

Warga di beberapa daerah di Jakarta harus membeli air dalam jerigen demi memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari. - Dede Rizky Permana/Antarafoto
Warga di beberapa daerah di Jakarta harus membeli air dalam jerigen demi memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari. - Dede Rizky Permana/Antarafoto
Sumber :
  • bbc

Sejak 1998, pengelolaan air di DKI Jakarta dari hulu sampai hilir dipegang oleh dua perusahaan swasta: PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT PAM Jaya, yang belakangan berganti nama menjadi Aetra. Perusahaan milik Pemda DKI, PAM Jaya, meneken kontrak dengan dua perusahaan tersebut yang berlaku sampai 2023.

Pada 2012, masyarakat yang bergabung dalam Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) mengajukan gugatan menolak pengelolaan air oleh swasta ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Nelson Nikodemus Simamora menjelaskan alasan Koalisi menggugat adalah kerja sama yang diteken PAM Jaya dengan perusahaan swasta membuat "rakyat menderita" dan merugikan negara.

Badan Pemeriksa Keuangan DKI Jakarta mencatat kerugian yang diderita PAM Jaya sejak meneken kontrak penswastaan air hingga Desember 2015 mencapai Rp1,4 Triliun. Kerugian tersebut antara lain terjadi karena PAM Jaya harus membayar kewajiban (shortfall) kepada perusahaan swasta sebesar Rp395 miliar dan Rp237,1 miliar.

Nelson juga menyoroti bahwa pipanisasi air baru mencapai 60%. Ini berarti, dari 10,37 juta penduduk Jakarta, lebih dari 4 juta warga belum mendapat akses ke air bersih. Adapun di sebagian daerah yang telah terjangkau pipanisasi, kualitas air dinilai sangat buruk. Misalnya di Kelurahan Rawa Badak, Jakarta Utara.

Erna Rosalina dari komunitas Solidaritas Perempuan Jabotabek, yang telah melakukan survei di Rawa Badak sejak 2010, mengatakan bahwa air yang keluar dari keran di daerah tersebut "bau, terkadang bau got, terkadang bau besi, terkadang bau kaporit, dan keruh". Selain itu, air di Rawa Badak tidak mengalir setiap waktu sehingga warga terkadang harus berjaga sampai malam untuk menunggu air. Semua ini terjadi meskipun warga tetap harus membayar tagihan air setiap bulannya, kata Erna.

Walhasil, pengeluaran warga setiap bulan untuk air pun sangat besar. "Membeli air itu dari pikulan atau air jerigen, yang harganya per jerigen itu Rp5000, beda ketika misalnya air mati atau listrik mati maka harga air itu menjadi Rp10.000. Itu yang bisa dipake tambahan untuk mandi," Erna menjelaskan.