Ahok Tuding Balik Tempo Kongkalikong dengan Pengembang

Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)
Sumber :
  • Fajar GM - VIVA.co.id

VIVA.co.id – Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) kembali mengeluarkan amarahnya.

Pembeli Kavling Pulau Reklamasi Dipanggil Polisi, Ada Apa?

Ahok sangat marah terkait, dua wartawan surat kabar yang mempermasalahkan kebijakannya, membuat diskresi mewajibkan empat perusahaan pengembang pemilik konsesi reklamasi membiayai dan mengerjakan beberapa program pembangunan infrastruktur di DKI Jakarta.

Dua wartawan itu. bekerja pada media yang sehari setelah Ahok diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 10 Mei 2016, membuat berita dengan mengutip sumber anonim yang mewartakan Ahok menggunakan kewajiban kontribusi tambahan yang belum diatur dasar hukum untuk meminta pengembang, salah satunya Agung Podomoro, membiayai banyak hal. Termasuk, penertiban bekas lokalisasi prostitusi Kalijodo.

Soal Reklamasi, Pemprov DKI Digugat ke Pengadilan

Pelaksanaan kewajiban kemudian ditukar dengan kesepakatan menurunkan besaran kontribusi tambahan saat Perda Tata Ruang Kawasan Strategis Pantura disahkan. Ahok sebelumnya juga telah menuduh berita itu tendensius.

"Istilah yang digunakan Tempo, yang saya protes adalah 'barter'," ujar Ahok di Balai Kota DKI, Kamis, 19 Mei 2016.

HGB Pulau D Terbit, DPR: Tata Ruang DKI Didikte Pengembang

Ahok menerangkan, penggunaan kata 'barter' tidak sesuai. Tidak ada pertukaran hal dalam pelaksanaan tambahan kontribusi. Pemerintah malah menambah kewajiban pengembang melalui kontribusi tambahan yang daftarnya diatur dalam izin pelaksanaan.

"Barter itu kita sama-sama tukar, dapat sesuatu. Ini kan tidak," ujar Ahok.

Ahok mengatakan, tindakan diskresi yang dimungkinkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, diambil untuk menjamin pengembang melaksanakan kewajiban, meski Perda RTRKS Pantura belum disahkan. Dengan begitu, baik pemerintah maupun masyarakat Jakarta mendapat keuntungan dengan dibangunnya infrastruktur penanggulangan banjir meski pengembang belum menyelesaikan kepentingannya untuk mereklamasi.

"Kita (Ahok saat menjadi anggota DPR) buat Undang-undang Pemerintah Daerah karena banyak kepala daerah tidak berani buat kebijakan. Pemda (Pemerintah Daerah) dirugikan, rakyat dirugikan. Makanya (dalam undang-undang), disebutkan kalau mau diskresi, harus ada catatan menguntungkan," ujar Ahok.

Ahok mengatakan, bila tindakan diskresi yang ia lakukan kini dianggap salah oleh surat kabar itu, maka pembangunan Simpang Susun Semanggi sebagai persiapan Asian Games 2018 juga bisa dipandang tidak benar. Pemerintah sama sekali tidak menggunakan anggarannya untuk membuat jalan layang baru di sekitar Jembatan Semanggi.

Diatur Pergub DKI Nomor 175 Tahun 2015, pemerintah meminta Mori Corporation mengeluarkan uang lebih dari Rp500 miliar. Perusahaan asal Jepang itu ingin meninggikan Koefisien Luas Bangunan (KLB) properti yang dibangun. Pemerintah memanfaatkan kebutuhan itu dengan meminta kompensasi pembiayaan pembangunan infrastruktur.

"Berarti Tempo jahat ini. Saya ngomong jujur. Berarti Anda berharap Mori (sama-sama perusahaan pengembang seperti pemilik konsesi reklamasi) gugat saya. Gimana kalau (proyek) Simpang Susun Semanggi dibatalin?" Ujar Ahok.

Ahok balik menuduh, diangkatnya fakta penggunaan diskresi memiliki tujuan untuk memperlihatkan kepada perusahaan pengembang bahwa pelaksanaan kontribusi tambahan, memiliki dasar hukum yang bisa dilihat tidak terlalu kuat. Dengan demikian, perusahaan pengembang bisa tetap melakukan reklamasi, namun kewajiban mereka membangun banyak infrastruktur di Jakarta menjadi gugur.

Berdasarkan logika itu, Ahok berasumsi bahwa, pihak yang kongkalikong dengan pengembang adalah surat kabar itu.

"Kalau begitu boleh saya tuduh juga dong. Saya suudzon jangan-jangan Tempo yang pengen barter dengan pengembang," ujar Ahok.

Ahok mengatakan diangkatnya isu penggunaan diskresi membahayakan. Bukan tak mungkin, karena kini memandang dasar hukum atas banyak kewajiban yang dilakukannya bisa dipermasalahkan, perusahaan-perusahaan pengembang memutuskan menggugat dirinya yang telah memberikan kewajiban.

Bila hal itu terjadi, maka banyak proyek infrastruktur di Jakarta, seperti Simpang Susun Semanggi, pembangunan rumah susun, rumah pompa, hingga jalan inspeksi batal dibangun.

Ahok menyalahkan suratkabar itu jika hal yang ditakutkan terjadi. "Kawan-kawan (wartawan yang lain) catat semua. Kalau semua pengembang menggugat saya, membatalkan Simpang Susun Semanggi segala macam, pembayaran kompensasi peningkatan KLB, kewajiban kontribusi tambahan, ini dosa Tempo," ujar Ahok sambil bergegas marah ke ruangannya.

Tanggapan Tempo

Menanggapi tudingan Ahok tersebut, Pemimpin Redaksi Tempo Daru Priyambodo menegaskan, Tempo tak punya kepentingan apapun untuk melakukan barter dengan pihak pengembang. Dia bilang, sebagai media, Tempo selalu mengutamakan dan menjaga independensi mereka.

"Tak ada kepentingannya Tempo ingin barter dengan pengembang. Redaksi Tempo tidak boleh berurusan soal bisnis dengan siapapun. Independensi adalah modal utama Tempo," jelasnya pada VIVA.co.id saat dikonfirmasi Jumat, 20 Mei 2016.

Tak hanya itu, Daru juga menilai tudingan Ahok mengenai upaya Tempo menghambat pembangunan tidak tepat. "Tugas media adalah bersikap kritis. Media harus melaporkan apa yang menjadi kepentingan publik. Isu mengenai reklamasi, diskresi atau kompensasi bagi pengembang yang menyangkut Gubernur DKI adalah isu publik. Ini tugas media, dan tak bisa disebut menghambat pembangunan," ucapnya.

Menurutnya, justru kasus korupsi, seperti dugaan suap terkait pembahasan Rancangan Peraturan Daeran (Raperda) menyangkut proyek reklamasi, yang saat ini sedang disidik KPK adalah masalah penghambat pembangunan sesungguhnya.

"Justru kalau memang ada korupsi di sana, yang sekarang sdang diinvestigasi KPK, korupsi itulah yang menghambat pembangunan," jelas Daru.

Untuk diketahui, saat ini KPK memang tengah menyidik dugaan itu, setelah menangkap bekas Ketua Komisi D DPRD DKI Mohamad Sanusi dan karyawan PT Agung Podomoro Land, Trinanda Prihantoro. Keduanya diduga melakukan transaksi suap. Pasca penangkapan, KPK kemudian menetapkan keduanya sebagai tersangka, ditambah dengan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja.

Ta hanya penyidikan ini, KPK saat ini juga membuka penyelidikan untuk mengembangkan kasus ini, menyangkut proses pembuatan izin reklamasi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya