1 Juta Masyarakat Adat Terancam Tak Bisa Memilih di Pemilu

Penetapan nomor urut parpol peserta Pemilu 2019.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Reno Esnir

VIVA – Sekitar satu juta suara masyarakat adat terancam hilang dalam Pemilu 2019. Satu juta warga adat itu terancam tidak bisa memilih dalam Pemilihan Kepala Daerah, Legislatif dan Presiden tahun 2019 mendatang.

Pilkada Serentak di Sumut, Mendagri: Semua Siap

Hal ini disampaikan Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi dalam acara Dialog Rapat Kerja Nasional (Rakernas) AMAN V bertema “Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat” di Desa Koha, Kecamatan Mandolang, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, Kamis, 15 Maret 2018.

Rukka mengatakan, dari 17 juta jiwa anggota AMAN, terdapat 12 juta warga yang memiliki hak pilih. 

Demokrat Lawan Keluarga Ratu Atut di Pilkada Banten

“Satu juta suara itu besar dan ini merugikan kelompok masyarakat adat,” kata Rukka di sela-sela acara Rakernas AMAN V berlangsung.

Masyarakat adat yang terancam tidak bisa menggunakan hak pilihnya disebabkan  sebagian besar tinggal di wilayah yang sulit dijangkau oleh pemerintah. Mereka juga terganjal masalah administrasi kependudukan. Sebagian bahkan tak memiliki e-KTP sebagai syarat yang dipakai saat penentuan Daftar Pemilih Tetap atau DPT.

Semua Petugas KPPS Pilkada 2020 Akan Jalani Rapid Test

“Juga sulit bagi wakil masyarakat adat untuk memenangkan pertarungan karena kita terbagi-bagi. Misalnya dalam satu masyarakat adat terbagi dalam pemetaan daerah pilihan terkait pembagian administratif,” katanya.

Alasan lain yang juga dianggap serius adalah praktik transaksi politik uang antara partai politik dan pemodal. Dalam situasi ini, posisi masyarakat adat menjadi objek jual-beli suara atau komoditas politik. 

“Hal ini menjadi permasalahan kepentingan ketika perusahaan yang merampas tanah wilayah adat juga mendukung suatu partai politik,” ujar Rukka.

Sementara itu mantan Sekjen dan Anggota DAMANAS, Abdon Nababan menuturkan, bahwa benang kusut partisipasi masyarakat adat dalam Pemilu dan Pilkada memang sangat mengkhawatirkan.
 
“Jadi siapa yang membayar paling besar itu yang bisa bersuara. Kalau dia (calon) tidak punya uang atau punya uang dan menginginkan biaya politiknya murah, dia akan memakai identitas, menggunakan isu-isu yang berbasis agama,” kata Abdon.  (mus)
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya