Kapolri Beberkan Modus Kecurangan Petahana di Pilkada

Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian (tengah)
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana

VIVA – Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengkritik tingginya biaya yang dikeluarkan bagi calon kepala daerah dalam sistem pemilihan langsung. Menurut Tito, sistem ini melahirkan calon-calon koruptor.

Edy Rahmayadi: Ongkos Politik Besar Bukan Alasan Langgar Uang Rakyat

Tito menyebut, untuk membangun jaringan selama dua tahun tidak gratis. Untuk menjadi bupati, dibutuhkan biaya sebesar Rp30-40 miliar. Sedangkan untuk menjadi gubernur dibutuhkan biaya sebesar Rp100 miliar.

"Begitu jadi gubernur, bupati, gaji dihitung 5 tahun tidak dapat Rp20 miliar. Mau tekor? Sama saja dengan sistem pemilihan ini, kita sudah menggiring, menciptakan para koruptor. Tinggal pilih mana-mana saja yang mau ditangkap," ucap Tito di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa, 27 Maret 2018.

Untung Rugi Pilkada Langsung dan Tak Langsung

Tito menerangkan calon kepala daerah petahana juga perlu diamati karena ada modus-modus operandi kecurangan saat pilkada. Kecurangan itu adalah calon petahana bisa mengintervensi aparatur sipil negara atau pegawai negeri sipil (ASN/PNS).

Mantan Kapolda Metro Jaya ini memberi contoh pada anggaran KPUD. Di mana calon petahana dapat 'memainkan' anggaran untuk penyelenggaraan pemilu.

Pilkada ala Orba

"Pemda kita harapkan netral dan berikan anggaran. Ini pun anggaran bisa tarik-menarik. Yang kira-kira punya mau dukung, apalagi kalau petahana-petahana. 'Dukung saya nggak? Kalau dukung, pengajuan kamu 100 persen saya penuhi. Tapi kalau enggak turunnya nyicil 20 persen dulu'," kata Tito.

Lebih lanjut, Tito menyoroti proses penentuan komisioner KPUD dan Panwaslu. "Pengalaman saya dua tahun di Papua untuk menentukan komisioner KPU dan Panwaslu di tingkat kabupaten itu sudah mirip pilkadanya sendiri. Karena para calon sudah menaruh orang-orang dia," ujar mantan Kapolda Papua ini.

Tito juga menjelaskan, permasalahan yang terjadi di tingkat kecamatan atau kelurahan di mana setiap anggotanya dipilih sementara waktu. Dalam proses itu, petugas pemilu tersebut banyak godaan dengan politik uang.

"(Petugas) Kecamatan, kelurahan, TPS ini direkrut dengan cepat. Nah mereka merupakan ad hoc, mereka lima tahun sekali (kerja), selesai. Kadang (mereka) berpikir 'kapan lagi nih lima tahun sekali', sehingga godaannya akan tinggi. Semua kontestan berusaha mendekati penyelenggara," kata dia.

Tidak Siap Kalah

Di sisi lain, Tito menyebut bahwa sebagian besar calon kepala daerah di pilkada serentak 2018 tidak siap kalah dalam kontestasi tersebut. Hal tersebut yang bisa menyebabkan salah satu potensi konflik di masyarakat.

Menurut Tito, pertarungan politik seperti pilkada tak bisa lepas dari pembicaraan soal kekuatan dan kekuasaan. Sehingga, kata Tito, setiap pihak akan bertarung untuk mendapatkan kekuasaan dengan menggunakan taktik dan strategi.

"Kalau ada idiom siap menang, siap kalah, mudah-mudahan betul dirasakan kontestan. Tapi saya rasa sebagian besar kontestasn tidak siap kalah. Mereka siapnya buat menang, kalau mau kalah ngapain investasi segala macam, kerja keras," kata Tito.

Apalagi, lanjut Tito, proses pilkada adalah sistem politik yang berujung pada merebut kekuasaan untuk mempengaruhi masyarakat luas. Tak hanya itu, Tito menyatakan proses pilkada ini juga menciptakan polarisasi-polarisasi di masyarakat.

Polarisasi itu, sambung Tito, tercipta karena pilihan-pilihan yang berbeda di tatanan sosial. Sehingga, hal itu yang mampu melahirkan potensi konflik antar-sosial

"Setiap polarisasi terjadi perbedaan pendapat, kepentingan. Dalam kacamata sekuriti, itu adalah potensi konflik," ujar dia.

Diketahui, dalam pilkada 2018 sebanyak 171 daerah menyelenggarakan pesta demokrasi. Dari 171 daerah, sebanyak 17 provinsi menyelenggarakan pemilihan gubernur. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya