Terungkap Alasan Yudi Latif Mundur dari Kepala BPIP

Presiden Jokowi bersama Yudi Latif (kiri).
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Rosa Panggabean

VIVA – Yudi Latief resmi mengajukan surat pengunduran diri sebagai Kepala Badan Pembinaan Idiologi Pancasila (BPIP). Surat itu dikirim tertanggal 7 Juni 2018, namun baru diterima Presiden Joko Widodo pada Jumat 8 Juni 2018 pagi ini.

Peringati Bulan Pancasila, Yudi Latif hingga Letjen Saiful Akan Jadi Pembicara Program 3K

Hampir sama seperti yang diutarakannya di akun Facebook pribadinya, salah satu alasan yang membuat dia mundur adalah memposisikan BPIP setara dengan kementerian, yang sebelumnya hanya berupa unit kerja presiden (UKP).

"Pak Yudi Latief setelah setahun di UKP dan BPIP merasa transformasi itu yang juga dikerjakan BPIP sudah hampir selesai itu tugasnya dianggap Pak Yudi Latief," kata Jubir Presiden, Johan Budi Sapto Pribowo, di kantornya, Istana Negara, Jakarta, 8 Juni 2018.

Yudi Latif Ungkap Alasan AS Terseok-seok Hadapi COVID-19

Saat masih bernama UKP Pembinaan Idiologi Pancasila (PIP), Yudi memang selalu mendorong agar unit ini bisa setara dengan kementerian. Sehingga koordinasinya langsung, dan kurikulum mengenai Pancasila bisa langsung disinergikan dengan lembaga dan kementerian terkait.

Perjuangan itu, akhirnya terwujud pada Februari 2018. UKP PIP berubah menjadi BPIP, berdasarkan Kepres Nomor 7 tahun 2018 tentang BPIP. Sehingga tertanggal 28 Februari 2018, resmi menjadi badan yang setara dengan kementerian dan lembaga.

NKRI Syariah Berkembang, Sosialisasi 4 Pilar Pancasila Dipertanyakan

Namun menurut Johan, salah satu yang menjadi alasan Yudi mundur adalah faktor keluarga.

"Termasuk urusan keluarga yang membutuhkan perhatian besar dari Pak Yudu Latief," kata Johan.

Berikut tulisan yang diunggah Yudi Latif di akun Facebook-nya pada Kamis dini hari.

TERIMA KASIH, MOHON PAMIT
Salam Pancasila!
Saudara-saudaraku yang budiman,
Hari kemarin (Kamis, 07 Juni 2018), tepat satu tahun saya, Yudi Latif, memangku jabatan sebagai Kepala (Pelaksana) Unit Kerja Presiden-Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP)--yang sejak Februari 2018 bertransformasi menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

Selama setahun itu, terlalu sedikit yang telah kami kerjakan untuk persoalan yang teramat besar.

Lembaga penyemai Pancasila ini baru menggunakan anggaran negara untuk program sekitar 7 milyar rupiah. Mengapa? Kami (Pengarah dan Kepala Pelaksana) dilantik pada 7 Juni 2017. Tak lama kemudian memasuki masa libur lebaran, dan baru memiliki 3 orang Deputi pada bulan Juli. Tahun anggaran telah berjalan, dan sumber pembiayaan harus diajukan lewat APBNP, dengan menginduk pada Sekretaris Kabinet. Anggaran baru turun pada awal November, dan pada 15 Desember penggunaan anggaran Kementerian/Lembaga harus berakhir. Praktis, kami hanya punya waktu satu bulan untuk menggunakan anggaran negara. Adapun anggaran untuk tahun 2018, sampai saat ini belum turun.

Selain itu, kewenangan UKP-PIP berdasarkan Perpres juga hampir tidak memiliki kewenangan eksekusi secara langsung. Apalagi dengan anggaran yang menginduk pada salah satu kedeputian di Seskab, kinerja UKP-PIP dinilai dari rekomendasi yang diberikan kepada Presiden.

Kemampuan mengoptimalkan kreasi tenaga pun terbatas. Setelah setahun bekerja, seluruh personil di jajaran Dewan Pengarah dan Pelaksana belum mendapatkan hak keuangan. Mengapa? Karena menunggu Perpres tentang hak keuangan ditandatangani Presiden. Perpres tentang hal ini tak kunjung keluar, barangkali karena adanya pikiran yang berkembang di rapat-rapat Dewan Pengarah, untuk mengubah bentuk kelembagaan dari Unit Kerja Presiden menjadi Badan tersendiri. Mengingat keterbatasan kewenangan lembaga yang telah disebutkan. Dan ternyata, perubahan dari UKP-PIP menjadi BPIP memakan waktu yang lama, karena berbagai prosedur yang harus dilalui.

Dengan mengatakan kendala-kendala tersebut tidaklah berarti tidak ada yang kami kerjakan. Terima kasih besar pada keswadayaan inisiatif masyarakat dan lembaga pemerintahan. Setiap hari ada saja kegiatan kami di seluruh pelosok tanan air; bahkan seringkali kami tak mengenal waktu libur. Kepadatan kegiatan ini dikerjakan dengan menjalin kerjasama dengan inisiatif komunitas masyarakat dan Kementerian/Lembaga. Suasana seperti itulah yang meyakinkan kami bahwa rasa tanggung jawab untuk secara gotong-royong menghidupkan Pancasila merupakan kekuatan positif yang membangkitkan optimisme.

Eksistensi UKP-PIP/BPIP berhasil bukan karena banyaknya klaim kegiatan yang dilakukan dengan bendera UKP-PIP/BPIP. Melainkan, ketika inisiatif program pembudayaan Pancasila oleh lembaga kenegaraan dan masyarakat bermekaran, meski tanpa keterlibatan dan bantuan UKP-PIP/BPIP.

Untuk itu, dari lubuk hati yang terdalam, kami ingin mengucapkan terima kasih setinggi-tingginya atas partisipasi semua pihak dalam mengarusutamakan kembali Pancasila dalam kehidupan publik.

Selanjutnya, harus dikatakan bahwa transformasi dari UKP-PIP menjadi BPIP membawa perubahan besar pada struktur organisasi, peran dan fungsi lembaga. Juga dalam relasi antara Dewan Pengarah dan Pelaksana. Semuanya itu memerlukan tipe kecakapan, kepribadian serta perhatian dan tanggung jawab yang berbeda.

Saya merasa, perlu ada pemimpin-pemimpin baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan. Harus ada daun-daun yang gugur demi memberi kesempatan bagi tunas-tunas baru untuk bangkit. Sekarang, manakala proses transisi kelembagaan menuju BPIP hampir tuntas, adalah momen yang tepat untuk penyegaran kepemimpinan.

Pada titik ini, dari kesadaran penuh harus saya akui bahwa segala kekurangan dan kesalahan lembaga ini selama setahun lamanya merupakan tanggung jawab saya selaku Kepala Pelaksana. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati saya ingin menghaturkan permohonan maaf pada seluruh rakyat Indonesia.

Pada segenap tim UKP-PIP/BPIP yang dengan gigih, bahu-membahu mengibarkan panji Pancasila, meski dengan segala keterbatasan dan kesulitan yang ada, apresiasi dan rasa terima kasih sepantasnya saya haturkan.

Saya mohon pamit. "Segala yang lenyap adalah kebutuhan bagi yang lain, (itu sebabnya kita bergiliran lahir dan mati). seperti gelembung-gelembung di laut berasal, mereka muncul, kemudian pecah, dan kepada laut mereka kembali" (Alexander Pope, An Essay on Man).

Salam takzim,
Yudi Latif

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya