Ketua IDI: Autopsi Jenazah KPPS Valid Ungkap Penyebab Kematian

Petugas KPPS meninggal dunia.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Didik Suhartono

VIVA – Banyaknya petugas pemilu 2019 yang meninggal dunia hingga melebihi angka psikologis 500 jiwa menimbulkan tanda tanya. Opsi autopsi jenazah petugas pemilu ini menjadi tuntutan dari sejumlah dokter untuk mengetahui penyebab kematian.

Paguyuban Marga Tionghoa Dorong Gunakan Hak Pilih 14 Februari untuk Lahirkan Pemimpin Berkualitas

Dokter pelapor kasus kematian petugas pemilu, Zulkifli mengatakan, petugas pemilu yang meninggal itu lebih layak disebut sebagai korban demokrasi, ketimbang pahlawan demokrasi. Karena, mereka dinilai menjadi korban dari sistem demokrasi yang salah.

"Ironi buat saya sebagai aktivis kebangsaan, mengatakan ini pahlawan demokrasi. Kalau saya mengatakan, ini korban demokrasi, itulah kenapa saya melaporkan ke bareskrim," ujar Zulkifli saat dialog dalam progaram Apa Kabar Petang tvOne, Jumat, 10 Mei 2019.

Prabowo Kaget Ada Pemuda Ngaku Siap Mati untuknya di Pilpres 2019: Saya Suruh Pulang!

Menurut Zulkifli, selama pengalamannya sebagai dokter, tidak ada penyebab kematian karena kelelahan. "Pemicunya karena kelelahan ini harus diperiksa," ujarnya.

Sementara itu, menurut Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Daeng Muhammad Faqih, dirinya sepakat bahwa autopsi jenazah adalah cara yang paling valid untuk mengetahui penyebab kematian. Menurut dia, kelelahan memang bisa menjadi pemicu kematian, namun akan lebih valid jika dilakukan autopsi jenazah.

Prabowo Cerita Tak sampai Satu Jam Putuskan Terima Ajakan Jokowi Gabung Kabinet

"Dari segi keilmuan kedokteran untuk mengetahui yang paling valid penyebab kematian itu memang paling tinggi itu dengan autopsi jenazah," kata Daeng.

Saat ditanya apakah IDI merekomendasikan autopsi jenazah, Daeng menjelaskan sebetulnya ada prosedur dari autopsi jenazah dalam KUHAP Pasal 133 dan 134. Dalam ketentuan tersebut, yang berhak melakukan itu adalah penyidik.

"Makanya kalau dokter Zulkifli sudah bilang lapor ke Bareskrim, silakan itu dilakukan oleh penyidik," kata dia.

Meski begitu, Daeng menjelaskan ada prosedur lain yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981. Dalam aturan tersebut ada prosedur bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis.

"Kalau di KUHAP itu kan bedah mayat forensik ya, untuk kepentingan penyidikan. Tapi kalau bedah mayat klinis itu, dengan persetujuan saja dari keluarga, mungkin keluarga ingin tahu sebabnya, itu bisa dilakukan autopsi jenazah," katanya.

Selain itu, Daeng menjelaskan bahwa prosedur autopsi jenazah juga bisa dilakukan oleh dokter jika mayat mengidap penyakit yang akan menular ke masyarakat luas.

"Itu dilakukan autopsi klinis," katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya