Kata-kata Terakhir Sang Pencipta Lagu Indonesia Raya

Rumah wafat W.R. Soepratman di Jalan Mangga 21, Tambaksari, Kota Surabaya, Jawa Timur.
Sumber :
  • VIVAnews/Nur Faishal

VIVA – Rumah mungil seluas total kira-kira tiga kali lapangan tenis meja itu berada di perkampungan padat di Jalan Mangga 21, Tambaksari, Kota Surabaya, Jawa Timur. Atapnya menjulang tinggi, serupa rumah gadang. Halamannya kecil, serasi dengan ukuran bangunan. Sementara di dalam terpetak tiga bagian, dua kamar dan satu ruang tamu. Ruang dapur terbuka berada di belakang.

Iqbaal Ramadhan Bawa Vibes Jadul di Video Klip Terbaru, Netizen: Berasa di Jaman Jinny Oh Jinny

Rumah itu saksi bisu detik-detik meninggalnya Wage Rudolf Soepratman, pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya, di Surabaya, Jawa Timur, pada 7 Agustus 1938. Sebelum mengembuskan napas terakhir, pahlawan kelahiran 9 Maret 1903 di Desa Somongari, Kecamatan Kaligesing, Purworejo, Jawa Tengah, itu sakit setelah dijebloskan ke penjara Kalisosok oleh pemerintah kolonial Belanda, gara-gara lagu ciptaan terakhirnya, Matahari Terbit.

Ahli Biola

Festival Pameran K-Pop Terbesar Siap Digelar 45 Hari! Musik, Film, Merchandise Ada di Sini

W.R. Soepratman adalah anak ketujuh dari pasangan suami-istri, Djoemeno Senen Sastrosoehardjo-Siti Senen. Bambang Sularto dalam Wage Rudolf Supratman terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, menggambarkan Soepratman adalah adalah anak laki-laki harapan keluarga prajurit Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) itu. Sebab, dua anak laki-laki Djoemeno meninggal dalam waktu muda, sementara keempat anak lainnya ialah perempuan.

Rumah wafat W.R. Soepratman di Jalan Mangga 21, Tambaksari, Kota Surabaya, Jawa

Meiska Angkat Fenomena Istilah Badut dalam Lagu Terbarunya

Harapan Djoemeno terkabul. Istrinya mengandung anak ketujuh dan lahir bayi laki-laki di Desa Somongari pada 9 Maret 1903. Saat lahir, Djoemeno tengah bertugas di Tangsi Betawi. Karena tidak ada di rumah, mulanya ibunya memberikan nama bayi laki-laki itu dengan Wage, baru setelah itu Djoemeno menambahkan nama Soepratman di belakangnya. Usia tujuh tahun, ibu Wage Soepratman, Siti Senen, meninggal dunia pada 1912 di Cimahi, Jawa Barat. Saat itu, Soepratman duduk di bangku HIS.

Soepratman kecil lebih akrab dengan ibu dan kakak sulungnya, Roekijem Soepratijah, dibandingkan dengan ayahnya. Maklum, ayahnya adalah prajurit KNIL berpangkat sersan dua sering di lapangan dan berjaga dari tangsi ke tangsi. Masa-masa itu adalah masa muram bagi Soepratman, terlebih setelah ayahnya menikah lagi dua tahun kemudian.

Semangat Soepratman kecil tumbuh lagi setelah kakak sulungnya, Roekijem dan suaminya prajurit Indo, Willem M van Eldik, untuk tinggal bersama di Makassar pada tahun 1914. Menurut penjelasan tertulis di Museum Rumah Wafat W.R. Soepratman di Surabaya, nama Rudolf di tengah Wage Soepratman diberikan keluarga Van Eldik saat di Makassar, demi mudahnya memasukkan Soepratman sekolah di Eropa, Europees Lagere School (ELS).

Nah, ketertarikan Soepratman pada musik bermula saat perjalanan laut menuju Makassar. Hampir setiap sore di kapal yang ditumpangi, Van der Wijk, dia melihat kakak iparnya bermain biola, sementara kakak sulungnya bernyanyi. Singkat cerita, dari kakak iparnya itulah Soepratman muda memperoleh ilmu seni musik dan cara bermain biola. Soepratman juga bergabung dalam grup musik yang dibentuk kakak iparnya, Black White Jazz Band, pada tahun 1920, yang pada kelanjutannya sering tampil di berbagai acara kala itu. Di grup itu dia memegang biola.

Sekali waktu Soepratman remaja tampil solo dan menuai pujian. Pada 1923, dia belajar aransemen. Dia berkeinginan menjadi pencipta lagu. Tokoh musik idolanya ialah komponis Perancis, Rouget de Le’isle, komponis yang mampu mempersatukan rakyat Perancis masa Revolusi Industri dengan ciptaannya, La Marseillase. Di sela-sela itu, dia juga rajin membaca berita-berita soal politik dari berbagai daerah saat kerja yang berpindah-pindah.

Minat Politik

Bambang Sularto dalam Wage Rudolf Supratman menjelaskan, minat W.R. Soepratman dalam politik muncul sekira tahun 1924. Tidak jelas betul apa dan siapa yang mendorong minat politik Soepratman muda itu. Bambang mengutip sumber bahwa dorongan politik muncul setelah Soepratman berkenalan dengan H.J.F.M. Sneevliet, tokoh sosialis pendiri Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV). Asupan kabar dari surat kabar yang rajin dibaca juga jadi benih.

Rumah wafat W.R. Soepratman di Jalan Mangga 21, Tambaksari, Kota Surabaya, Jawa

Sejak itu Soepratman sering menghadiri ceramah dan mengikuti diskusi politik di Makassar. Lama-lama aktivitasnya terintai petugas Politieke Inlichtingen Dienst (PID), dinas intelijen kepolisian Kerajaan Hindia Belanda. Kabar itu masuk ke telinga keluarga kakak iparnya, Sersan WM van Eldik. Sadar dipantau dan akan jadi masalah, Soepratman kembali menyibukkan diri di dunia musik. Tetapi spirit kebangsaan kadung berbenih. Dia tetap mengikuti perkembangan politik secara diam-diam.

Minat Soepratman pada politik akhirnya tak terbendung. Dia ingin mengambil andil dalam perjuangan kebangsaan bersama para pemuda di Jawa, seperti yang dia baca di koran-koran di Makassar. Dia pamit kepada kakak sulungnya untuk pergi ke Jawa dan, meski berat hati, kakak sulungnya akhirnya meloloskan. Dalam perjalanan laut selama berhari-hari menuju Surabaya, Soepratman berkali-kali memainkan La Marseillase dengan biolanya, lagu kebangsaan Perancis.

Tiba di Surabaya pada 1924, Soepratman kemudian ke Cimahi setelah beberapa hari melihat-lihat situasi politik di ujung timur Pulau Jawa itu. Dia kemudian tertarik menjadi wartawan dan bergabung dengan Kaum Muda, koran terbitan Bandung kala itu. Di sana dia menumpang tinggal di rumah sersan KNIL Santosa Kasansengari, suami dari adiknya, Giyem Supratinah. Di sela-sela itu, dia merangkap kerja sebagai pemain biola di grup jazz di Bandung.

Dunia jurnalistik (setelah Kaum Muda, W.R. Soepratman di Sin Po) menghantarkannya bergaul dengan banyak tokoh pergerakan dan pemikiran mereka kala itu. Pikiran politiknya kian terasah, nasionalisme makin tertanam dalam. Semua itu mendukung keinginannya sejak dini menjadi komponis. Dia kemudian mencipta lagu patriotik pertamanya, Dari Barat sampai ke Timoer. Bambang menyebut, lagu itu dari segi musikal mirip La Marseillase. Tahun-tahun berikutnya, lagu itu selalu dinyanyikan para pemuda Indonesia saat bergerak di medan perjuangan.

Soepratman juga bergabung dengan angkatan muda dan hadir sebagai peserta pasif di Kongres Pemuda I pada 1926. Bambang menduga, Soepratman kemungkinan sudah membuat konsep lagu kebangsaan saat itu, namun belum berniat untuk merampungkannya. Setelah kongres selesai, barulah dia memperoleh banyak kesempatan untuk menggarap lagu tersebut. Lagu itu dia garap dengan not balok dan not angka, terdiri dari tiga kuplet dengan bait ulangan (refrain). Birama lagu: 6/8 dengan catatan jangan terlalu cepat, dan berjudul sementara, Indonesia.

Lagu Indonesia itu baru diumumkan dan dimainkan kali pertama kali oleh Soepratman di arena Kongres Pemuda Kedua pada 28 Oktober 1928, menjelang pembacaan keputusan kongres. Bambang menggambarkan, suasana tegang mewarnai pengumuman lagu karena jalannya kongres diawasi petugas dari pemerintah Belanda. Beberapa hari kemudian, notasi syair Indonesia menyebar ke banyak daerah melalui surat kabar-surat kabar. Lagu itu dimainkan lagi oleh Soepratman untuk kedua kalinya pada November 1928 dan mendapat respons luar biasa.

Lagu gubahan Soepratman mendapatkan pengakuan pertama kali sebagai lagu Kebangsaan Indonesia saat Kongres Partai Nasional Indonesia (PNI) Kedua, 18-20 Mei 1929, dengan tokoh utamanya Sukarno. Saat itu, syair yang diberikan di arena kongres berjudul Indonesia Raya. Sejak itulah Indonesia Raya berkumandang di seluruh Nusantara.

Kata Terakhir

Lagu Indonesia Raya juga menarik perhatian pemerintah kerajaan Hindia Belanda. Soepratman pun sering dibuntuti agen-agen PID, hingga dia sakit dan dalam masa perawatan di Waroeng Contong, Cimahi, sekira tahun 1934-1936. Dia kemudian kabur diam-diam dan bersembunyi selama setahun di rumah kakaknya, Rukinah Supratirah, di Kampung Randudongkol, Pemalang, Jawa Tengah.

Setahun kemudian, 1937, Soepratman ikut kakak sulungnya, Rukiyem Supratiyah, ke Surabaya. Dia tinggal di rumah Rukiyem Jalan Mangga 21. Agen PID mengetahui itu dan mengawasinya. Sekira Juni 1938, Soepratman mencipta lagu Matahari Terbit dan tersiar. Agen PID menafsirkan itu sebagai pengagungan terhadap kekaisaran Jepang. Akibatnya, dia ditangkap polisi saat menyanyikan lagu itu bersama pandu-pandu di NIROM (RRI) pada 7 Agustus 1938.

Dia lalu dijebloskan ke dalam tahanan Kalisosok namun kemudian bebas setelah tak terbukti mengelu-elukan Kekaisaran Jepang dalam lagu Matahari Terbit ciptannya. Sejak bebas, Soepratman jatuh sakit dan dirawat oleh Rukiyem. Sang pencipta lagu Indonesia Raya itu meninggal dunia pada Rabu tengah malam, 17 Agustus 1938.

Sebelum ditemui ajal, dia menuliskan kata-kata terakhir yang begitu menyentuh dan penuh keyakinan tentang kemerdekaan Indonesia.

Nasibkoe soedah begini
Inilah yang disoekai pemerintah Hindia Belanda
Biarlah saja meninggal
Saja ichlas
Saja toch soedah beramal
Berjoeang dengan tjarakoe, dengan biolakoe.
Saja jakin, Indonesia pasti merdeka

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya