Mantan Pimpinan Dukung Revisi UU KPK

Petugas membersihkan logo Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

VIVA – Mantan pelaksana tugas (Plt) pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Indriyanto Seno Adji mengatakan bahwa lembaga superbody seperti KPK perlu memiliki Dewan Pengawas seperti halnya Mahkamah Agung, Polri, dan Kejaksaan.

Nurul Ghufron Bakal Bela Tak Langgar Etik di Sidang Dewas KPK Siang Ini

Maka, ia menganggap sangat wajar dalam revisi Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK) muncul usulan pembentukan Dewan Pengawas.

"Tentang Dewan Pengawas adalah sesuatu yang wajar. Karena pada negara demokratis, bentuk auxiliary state body seperti KPK disyaratkan adanya badan pengawas yang independen, MA dengan KY, Polri dengan Kompolnas, Kejaksaan dengan Komjak," kata Indriyanto dalam keterangan tertulis, Minggu, 8 September 2019.

Tolak Usulan Money Politics Dilegalkan, KPK: Itu penyakit, Menggerogoti Demokrasi Kita

Selain itu, Indriyanto menyoroti proses penghentian penyidikan atau biasa disebut SP-3. Kewenangan mengeluarkan SP-3 ini bertujuan untuk memenuhi asas kepastian hukum dan keadilan. SP3 ini bisa diterapkan dalam kondisi yang limitatif dan eksepsional sifatnya.

"Misalnya saja seorang ditetapkan tersangka saat proses penyidikan dan kemudian menderita sakit yang secara medis dinyatakan unfit to stand trial secara permanen (tidak layak diajukan ke pengadilan), maka orang tersebut harus dihentikan penyidikannya," katanya.

12 Militer Israel Tewas di Tangan Brigade Al-Qassam, Rumah Mewah Rp4,5 M Milik SYL Disita KPK

Indriyanto menilai, inisiatif DPR atas revisi UU KPK ini memiliki pendekatan filosofi keadilan restoratif. Pendekatan ini menghendaki adanya suatu rehabilitasi sistem pemidanaan dan tidak semata-mata soal memberikan deterrent effect (efek jera).

Guru besar tidak tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini menuturkan, dari kasus-kasus korupsi yang ditangani sampai hari ini, pola dan cara penindakan dengan efek jera tidak memberikan manfaaat pengembalian optimal keuangan negara. "Karena itu filosofi pencegahan dengan rehabilitasinya menjadi basis yang utama," ujarnya.

Terlepas dari setuju atau tidak, kata Indriyanto, enam pokok dalam draf perubahan UU KPK itu merupakan gabungan atas evaluasi pola pencegahan dan penindakan sebagai sesuatu yang wajar serta baik bagi lembaga antirasuah itu pada waktu ke depannya.

Keenam pokok perubahan itu antara lain keberadaan Dewan Pengawas, aturan penyadapan, kewenangan surat penghentian penyidikan perkara (SP3), dan status pegawai KPK

Kemudian kedudukan KPK sebagai penegak hukum cabang kekuasaan eksekutif, serta posisi KPK selaku lembaga penegak hukum dari sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia.

Kemudian, ia menambahkan, munculnya keberatan dari masyarakat sipil antikorupsi serta pengamat hukum atas revisi UU KPK ini karena persepsi dan pola pendekatan yang berbeda. Mereka masih dengan pendekatan efek jera.

Menurutnya, draf revisi UU KPK yang disusun oleh DPR tanpa menghilangkan pola penindakan KPK sudah sesuai untuk prospek ke depan. Ia menyatakan tidak perlu dicurigai dan khawatir dengan rencana revisi UU KPK tersebut. 

Sejauh ini, DPR telah sepakat mengambil inisiatif revisi UU KPK. Para wakil rakyat itu telah menyusun draf rancangan revisi UU KPK dan disetujui dalam rapat Baleg. Setidaknya terdapat enam poin pokok perubahan dalam revisi UU KPK.

Rencana revisi UU KPK ini langsung dikritik oleh sejumlah pihak mulai dari Indonesia Corruption Watch (ICW) hingga lembaga KPK sendiri. Bahkan Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan bahwa KPK sedang berada di unjuk tanduk.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya