Migrant Care: Kematian Tamam bin Arsad di Malaysia adalah Ironi

Ilustrasi meninggal.
Sumber :
  • U-Report

VIVAnews - Lembaga Swadaya Masyarakat Migrant Care, menyoroti peristiwa meninggalnya Tamam bin Arsad di Trotoar KBRI Malaysia pada Kamis, 31 Oktober 2019. Tamam meninggal saat tengah mengantre proses perpanjangan dokumen kewarganegaraan.

Barang Kiriman TKI Bebas Pajak Bakal Naik Jadi Maksimal US$2.800 per Tahun

Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mengatakan, apa yang terjadi terhadap Tamam merupakan sebuah ironi. Di mana Menteri Luar Negeri Retno Marsudi memprioritaskan perlindungan warga negara, tetapi justru ada seorang warga negara yang harus kehilangan nyawa lantaran terlalu lama mengantre mengurus dokumen kewarganegaraan.

Padahal, dalam pidato perdana di periode keduanya, Retno sempat menegaskan akan memaksimalkan inovasi teknologi dan digital dalam aktivitas diplomasi, termasuk mengurus dokumen kewarganegaraan. Tetapi kenyataannya hal itu tidak berjalan seperti diharapkan.

LPSK Putuskan Beri Perlindungan kepada Korban Dugaan Pelecehan Rektor Nonaktif UP

"Kematian Tamam bin Arsad di trotoar depan KBRI Kuala Lumpur, tanggal 31 Oktober 2019 tentu adalah ironi. Pekerja migran asal Bawean, Jawa Timur, berada di KBRI Kuala Lumpur untuk mengantre proses perpanjangan dokumen kewarganegaraan. Dalam dua dekade, antrean pembuatan dokumen kewarganegaraan adalah pemandangan sehari-hari di KBRI Kuala Lumpur," kata Wahyu dalam keterangan persnya, Jumat, 1 November 2019.

Menurut Wahyu, memang sejauh ini, publik juga tidak bisa menutup mata adanya inovasi untuk mempercepat pelayanan pembuatan dokumen. Namun tetap saja, inovasi yang ada saat ini masih belum memadai dan tidak bisa mengantisipasi ribuan orang yang membutuhkan layanan dokumen.

Paket Lebaran TKI Tertahan di Surabaya, BP2MI Minta Segera Dibebaskan

"Sistem layanan online tidak dioptimalkan agar bisa mengurangi proses yang manual. Sementara proses yang manual membuka ruang adanya transaksi ilegal dan praktik percaloan serta masih memungkinkan adanya penumpukan manual karena layanan inti pembuatan dokumen masih dikerjakan secara manual," ujarnya.

Dengan adanya peristiwa ini, Wahyu menilai kinerja Perwakilan RI khususnya di Malaysia masih setengah hati. Situasi ini, kata Wahyu, harus segera dievaluasi agar tidak ada pekerja migran yang mati sia-sia karena keteledoran layanan diplomasi perwakilan RI di luar negeri.

"Ini juga memperlihatkan bahwa masih ada gap antara komitmen menlu RI yang tidak diragukan mengenai diplomasi perlindungan dengan kinerja perwakilan RI terutama di negara-negara dengan jumlah pekerja migran yang signifikan yang 'business as usual' dan menganggap pekerjaan perlindungan pekerja migran adalah pekerjaan sampingan dan bukan sebagai core diplomacy," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya