Angka Kekerasan Seksual Anak di Jatim Tinggi, Ini Saran Kak Seto

Ilustrasi Kak Seto di Markas Polda Jatim
Sumber :
  • VIVAnews/Nur Faishal

VIVA – Kekerasan seksual terhadap anak di Jawa Timur sangat tinggi. Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi alias Kak Seto berharap pemerintah daerah setempat menggerakkan setiap Rukun Tangga/Rukun Warga agar tanggap dalan persoalan ini.

Vincent Rompies Bongkar Sikap Sang Putra Ketika di Rumah: Anaknya Ngeyel Banget

Kak Seto menyinggung perlunya program dengan mengaktifkan Seksi Perlindungan Anak Tingkat Rukun Tetangga, disingkat SPARTA. Ia galau dengan tingginya angka kekerasan seksual dengan korban anak di bawah umur.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jatim Komisaris Besar Polisi Frans Barung Mangera mengatakan, angka kekerasan seksual dengan korban anak-anak di tahun 2016 sebanyak 689 kasus.

Suka Bantah, Vincent Rompies Pernah Ungkap Kekhawatiran soal Anaknya

“Di 2017 angkanya melonjak tajam, 798 (kasus), kalau tidak salah, nanti bisa dikoreksi,” katanya di Markas Polda Jatim di Surabaya pada Jumat, 29 November 2019.

Untuk sepanjang tahun ini angkanya menurun dibandingkan sebelumnya. Namun, tetap cenderung tinggi untuk kategori di Jawa Timur.

Pernah Ngobrol Soal Anak dengan Kak Seto, Vincent Rompies Ngaku Anaknya Suka Membantah

“Tetapi kasus ini cenderung masih sangat tinggi di Jawa Timur, yaitu di angka 589 (kasus kekerasan seksual terhadap anak). Nah, kejahatan yang akan kita rilis hari ini kejadian tahun 2008, saat korban-korbannya masih usia empat (tahun), lima, ketika anak ini sudah tumbuh dan dewasa barulah dia melapor,” jelas Barung.

Kak Seto mengamini masih tingginya angka kekerasan seksual dengan korban anak itu. Dia menyebut dua langkah penting untuk menekan angka kasus tersebut. Pertama, penindakan secara hukum dengan menerapkan hukuman secara maksimal, termasuk kebiri kimia sebagai rehabilitasi.

“(Hukuman kebiri kimia) Ini dimungkinkan dengan penekanan sebagai rehabilitasi yang diikuti dengan kesadaran dirinya (pelaku),” ujarnya.

Menurut Kak Seto, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak hukuman kebiri kimia dengan tujuan itu sebagai hukuman. “Karena alasannya dokter itu menyembuhkan. Itu (kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual) juga menyembuhkan dalam konteks psikologi sehingga dia tidak lagi mengulangi perbuatannya,” tuturnya.

Kedua, kata Kak Seto, ialah menggerakkan langkah pencegahan dengan melibatkan masyarakat secara aktif. LPAI sudah mengusulkan itu dengan nama program SPARTA di RT/RW.

Sementara ini, lanjut dia, baru di Tangerang Selatan, Kabupaten Bengkulu, dan Banyuwangi yang menerapkan SPARTA. “Di Tangsel (Tangerang Selatan) angkanya menurun setelah ada SPARTA,” ujarnya.

Peran masyarakat di RT/RW penting untuk pencegahan karena orang-orang terdekat anak-anak tidak hanya lingkungan keluarga. Bahkan, kata Kak Seto, tetangga sekitar justru yang juga banyak tahu apa yang terjadi di lingkungan sekitar.

Dia berharap, dengan adanya SPARTA, informasi awal jika ditemukan indikator kejahatan seksual di lingkungan terdekat segera diteruskan ke pihak berwenang. “Kalau tahu ada kejahatan tapi diam, itu ada pidananya,” ucap Kak Seto.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya