Kemenhub Diminta Segera Pastikan Tarif Angkutan Penyeberangan

Kapal ferry di Pelabuhan Merak di Cilegon, Banten, pada Selasa, 12 Juni 2018.
Sumber :
  • VIVA/Fikri Halim

VIVA – Kementerian Perhubungan dinilai sangat lamban dalam menanggapi kesulitan para pelaku usaha angkutan penyeberangan yang semakin kritis akibat evaluasi dan penetapan tarif moda transportasi berlarut-larut hingga 1,5 tahun.

ASDP Hapus Kebijakan Tiket Feri Kadaluwarsa saat Arus Balik

Menurut Bambang Haryo Soekartono, praktisi dan pemerhati sektor transportasi logistik, evaluasi tarif angkutan penyeberangan komersial antarprovinsi yang sangat lamban itu, tidak sesuai dengan kebijakan Presiden Joko Widodo, yang menginginkan agar aparat pemerintah melayani perizinan dengan cepat.

"Usulan evaluasi tarif sama seperti perizinan karena menyangkut pelayanan publik. Presiden Jokowi sudah memberikan batas perizinan maksimal tiga jam. Kenyataannya bertele-tele hingga 1,5 tahun, ditambah birokrasinya panjang, karena sekarang melibatkan tiga instansi, Kemenhub, Kemenko Maritim dan Investasi, serta Kementerian Hukum dan HAM," kata Bambang Haryo, Kamis, 5 Desember 2019.

Libur Idul Fitri, Kapal Feri Jambi Siap Layani Wisatawan ke Pulau Berhala

Politikus Partai Gerindra itu mengatakan, Kemenhub telah melanggar aturannya sendiri, yakni Keputusan Menhub Nomor KM 58 Tahun 2003 tentang Mekanisme Penetapan dan Formulasi Perhitungan Tarif Angkutan Penyeberangan, yang menyatakan evaluasi tarif harus dilakukan setiap enam bulan sekali.

"Evaluasi tarif sudah 1,5 tahun tapi belum juga ditetapkan. Sementara tarif belum naik dalam tiga tahun terakhir," ujarnya.

Pemudik Diminta Waspada Jika Bawa Mobil Listrik Naik Feri, Bahaya Ini Mengintai

Anggota Komisi V DPR DRI periode 2014-2019 sekaligus Dewan Pembina Gapasdap ini menilai, berlarut-larutnya evaluasi tarif menunjukkan Kemenhub kurang peduli terhadap kondisi angkutan penyeberangan dan perintah percepatan perizinan dari Presiden.

Pada era Orde Baru saja, menurut Bambang, birokrasi evaluasi tarif dipangkas dengan menghilangkan mekanisme melalui DPR RI, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 1992 tentang Pelayaran. Ketentuan ini diperkuat dengan PP Nomor 82 tahun 1999 tentang Angkutan di Perairan, yang menyebutkan penetapan tarif cukup melalui Menhub.

"Jadi birokrasi tarif yang panjang dan bertele-tele saat ini merupakan suatu kemunduran, tidak sesuai dengan jargon Presiden memangkas hambatan usaha dan birokrasi," tegasnya.

Lebih mengherankan lagi, kata Bambang, Kemenhub bukan hanya menunda penetapan tarif, melainkan juga mencicil kenaikan tarif angkutan penyeberangan selama tiga tahun ke depan.

Padahal, perhitungan tarif sudah sangat transparan karena pendapatan dari penjualan tiket langsung diketahui oleh pemerintah melalui PT ASDP Indonesia Ferry. Pemerintah mengetahui bahwa pendapatan itu sulit untuk menutupi keselamatan dan kenyamanan pelayaran.

Peran vital angkutan penyeberangan

Sebagai sarana atau alat angkut sekaligus prasarana publik yang supermassal, menurutnya, angkutan penyeberangan sangat vital karena tidak tergantikan oleh moda lain. "Karena itu harus dilindungi negara agar kondisi usaha kondusif demi menjamin keberlangsungan angkutan antarpulau serta keselamatannya," kata Bambang.

Dia menyadari, kenaikan tarif bukan kebijakan populer bagi pemerintah, namun keselamatan publik tidak boleh dikorbankan demi popularitas.

Menurut Bambang, dampak kenaikan tarif sebenarnya tidak signifikan terhadap harga barang yang diangkut sehingga tidak perlu dikhawatirkan. Bambang memberikan gambaran, apabila sebuah truk mengangkut 30 ton beras atau senilai Rp300 juta di lintas Merak-Bakauheni, maka akan membayar tambahan tarif Rp150 ribu dengan asumsi dikenakan kenaikan tarif teringgi yakni 38 persen.

Artinya, dampak kenaikan tarif itu terhadap harga beras yang termasuk komoditas bawah hanya Rp5 per kilogram atau 0,05 persen. Apabila yang diangkut produk bernilai tinggi, kenaikan tarifnya tentu menjadi relatif lebih rendah.

"Kenaikan itu mungkin sangat kecil bagi pemilik barang, tetapi bagi operator angkutan penyeberangan sangat besar. Artinya untuk menjaga kelangsungan usaha dan menjamin keselamatan nyawa publik," ujarnya.

Bambang Haryo mengingatkan kepada pemerintah, bahwa kondisi angkutan penyeberangan saat ini sangat memprihatinkan. Banyak perusahaan yang kesulitan keuangan, kesulitan membayar gaji tepat waktu dan mencicil tagihan.

"Beberapa perusahaan terpaksa dijual ke investor baru karena tidak sanggup lagi menanggung beban. Ini akibat pemerintah kurangnya perhatian pemerintah, yang selalu menunda-nunda kenaikan tarif," ujarnya.

Menurut dia, seharusnya tarif penyeberangan tidak perlu diatur pemerintah. Sebab pemerintah tidak sanggup memberikan subsidi public service obligation (PSO) seperti yang diberikan untuk kereta api kelas ekonomi dan komuter.

"Kenapa diskriminatif, KA diberikan PSO tetapi pelayaran tidak? Padahal, kapal penyeberangan sangat vital dan tidak bisa digantikan dengan moda lain, sedangkan KA masih bisa diganti dengan moda darat lain, seperti bus, mobil pribadi, atau sepeda motor," ungkapnya.

Apabila pemerintah tidak sanggup atau tidak mau memberikan PSO kepada angkutan penyeberangan, maka tarifnya harus diserahkan kepada mekanisme pasar. Apalagi, tarif untuk penyeberangan di lintas komersial.

Bambang Haryo mengatakan, bertele-telenya masalah tarif ini membuktikan Kemenhub tidak paham tentang pentingnya angkutan penyeberangan dan tidak peduli dengan konsep kemaritiman yang menjadi jargon Presiden Jokowi.

"Kemenhub lebih memperhatikan transportasi darat daripada kemaritiman. Ini sangat disesalkan, padahal the real tol laut itu adalah penyeberangan, bukan seperti kapal tol laut yang sekarang tidak menentu jadwalnya," tegasnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya