Tuduhan Bupati Nonaktif Lampung Tengah ke Azis Syamsudin Tak Nyambung

Bupati nonaktif Lampung Tengah Mustafa menjalani sidang
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

VIVA - Bupati nonaktif Lampung Tengah, Mustafa, menyebut anggota DPR Azis Syamsudin meminta fee 8 persen dari persetujuan Dana Alokasi Khusus APBN-P 2017. Terkait pernyataan tersebut, Direktur Eksekutif Indonesia Development Monitoring (IDM) Fahmi Hafel menilai apa yang dikatakan Mustafa tidak nyambung dengan perkara hukum yang dijalani.

Ketua DPW PPP se-Indonesia Solid Hadapi Pilkada 2024, Mardiono: Kita Bangkit Kembali

"Ini jelas merupakan pernyataan Mustafa yang tidak nyambung dengan perkara hukum yang sudah dijalani," kata Fahmi kepada wartawan, Kamis, 16 Januari 2020.

Fahmi menjelaskan, kasus Mustafa adalah terkait suap kepada anggota DPRD Lampung Tengah. Sementara itu, pemberian uang tersebut bertujuan agar anggota DPRD memberikan persetujuan terhadap rencana pinjaman daerah Kabupaten Lampung Tengah kepada PT Sarana Multi Infrastruktur sebesar Rp300 miliar pada tahun anggaran 2018.

PDIP Sumbar Menang Atas Gugatan dari Kader Sendiri

"Jadi pernyataan Mustafa bisa dianggap sebagai angin lalu atau pernyataan yang dibuat-buat, karena peristiwa hukum saja berbeda dan dalam penyaluran DAK 2017 Lampung Tengah tidak ada peristiwa hukum tindak pidana," ujar Fahmi.

"Jadi apa yang dikatakan Mustafa bisa jadi hanya omong kosong dan tidak masuk dalam peristiwa tindak pidana korupsi," katanya.

DPR Tolak Iuran Pariwisata Dibebankan ke Industri Penerbangan, Tiket Pesawat Bisa Makin Mahal

Fahmi menuturkan, pada Pasal 189 ayat (2) KUHAP berbunyi 'Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya'.

"Nah, ini kasus yang didakwakan pada Mustafa tidak ada hubungannya dengan pengucuran DAK APBN-P 2017," katanya.

Dengan begitu, lanjut Fahmi, keterangan terdakwa yang dinyatakan di luar sidang seperti yang dilakukan Mustafa tidak dapat dinilai sebagai alat bukti. Oleh karena itu, tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti.

Akan tetapi, dapat dipergunakan “membantu” menemukan bukti di sidang pengadilan. Dengan catatan, keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang ada hubungannya mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

"Sedangkan Mustafa bukan lagi berstatus terdakwa tetapi sudah berstatus narapidana. Jadi apa yang dilaporkan Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI) ke KPK terkait pernyataan Mustafa sudah salah kaprah dan tidak pada tempatnya," katanya.

Sebelumnya, Komite Anti Korupsi Indonesia (KAKI) melaporkan Wakil Ketua DPR Fraksi Golkar, Azis Syamsuddin ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Laporan tersebut bersandar pada keterangan mantan Bupati Lampung Tengah, Mustafa, yang menyebut Azis meminta fee 8 persen dari persetujuan Dana Alokasi Khusus APBN- P 2017. Tak hanya ke KPK, KAKI juga melaporkan Azis ke Mahkamah Kehormatan DPR (MKD).

Mustafa telah divonis tiga tahun penjara oleh Majelis Hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta akibat kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tahun 2018. Mustafa terbukti menyuap beberapa anggota DPRD Lampung Tengah sejumlah Rp9,6 miliar.

Penyuapan itu dilakukan bersama-sama Kepala Dinas Bina Marga Lampung Tengah, Taufik Rahman. Sejumlah anggota DPRD Lampung Tengah periode 2014-2019 yang disebut menerima suap yakni, Natalis Sinaga, Rusliyanto, Achmad Junaidi Sunardi, dan Raden Zugiri. Kemudian, Bunyana dan Zainuddin.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya