1.137 Anak di Jawa Timur Terpapar COVID-19, Tiga Meninggal Dunia

Petugas medis melakukan tes COVID-19. Foto ilustrasi.
Sumber :
  • VIVAnews/Kenny Putra

VIVA – Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Kependudukan (DP3AK) Provinsi Jawa Timur, Andriyanto mengungkapkan, setidaknya 1.137 anak di provinsi setempat terinfeksi Coronavirus Disease 2019 atau COVID-19 sejak pandemi melanda hingga 15 Juli 2020. Tiga di antaranya meninggal dunia.

AstraZeneca Tarik Vaksin COVID-19 di Seluruh Dunia, Ada Apa?

Jumlah tersebut, kata Andriyanto, setara dengan 6,6 persen dari total kasus positif COVID-19 di Jatim. Rinciannya, 1,7 persen yang terpapar merupakan anak usia 0-5 tahun dan 4,9 persen usia 6-17 tahun. Adapun tiga anak yang meninggal dunia tidak murni karena COVID-19, tapi komorbid alias memiliki riwayat penyakit bawaan.

Selain rentan terpapar COVID-19, Andriyanto menyatakan, kekerasan terhadap anak dan perempuan di Jatim selama pandemi meningkat. Berdasarkan data yang dikantongi DP3AK, tercatat sebanyak 699 laporan kekerasan yang masuk.

Kuota Haji Kabupaten Tangerang Bertambah, 20 Persen Lansia

"Itu data sampai 16 Juli 2020," kata Andriyanto dalam webinar ‘Menangkap Momen Hari Anak Nasional 2020 sebagai Starting Point Memviralkan Gerakan Perlindungan Anak’, Selasa, 21 Juli 2020.

Baca juga: Pimpinan UNS Positif COVID-19, Gedung Rektorat Ditutup

Geger Vaksin COVID-19 AstraZeneca, Ketua KIPI Sebut Tidak ada Kejadian TTS di Indonesia

Jenis kekerasan yang paling banyak ialah kekerasan seksual, yaitu 40,6 persen. Sisanya ialah kekerasan fisik dan psikis. "Lokasi terbanyak dilaporkan terjadi di rumah tangga, disusul fasilitas umum, tempat kerja, dan sekolah. Ini sungguh mengenaskan. Ini yang harus disuarakan oleh para pihak, terutama oleh teman-teman media," ujar Andriyanto. 

Direktur Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Tulungagung Winny Isnaeni mengatakan, salah satu isu perlindungan anak yang saat ini marak terjadi dan seringkali masih diabaikan dampaknya ialah isu kekerasan. Termasuk di dalamnya kekerasan berbasis gender, eksploitasi, kesehatan mental anak dan penelantaran anak.

Dia menjelaskan, kasus kekerasan berbasis gender masih sering dianggap tabu oleh masyarakat karena pengaruh budaya dan lingkungan masyarakat. Ini yang kemudian menyebabkan kasus yang banyak terjadi tidak terungkap dan tidak ada penanganan maupun respons terhadap korban.

"Jika tidak dicegah dan ditangani dengan baik, kasus kekerasan dapat berdampak bagi korban,” kata Winny.

Child Protection Specialist UNICEF Kantor Perwakilan wilayah Jawa, Naning Pudjijulianingsih mengungkapkan, meski sulit, di masa pandemi ini semua pencegahan kekerasan anak bisa dilakukan dari tiap rumah. Baik itu kolaborasi yang baik antara keluarga, sekolah, masyarakat, serta media.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya