Klaim Khilafah di Nusantara, Diponegoro Kontak Ottoman?

Source : Republika
Source : Republika
Sumber :
  • republika

REPUBLIKA.CO.ID, Film “Jejak Khilafah di Nusantara” yang tayang secara virtual hari Kamis (20/8) menyisakan polemik. Tayangan tersebut pun akhirnya diblokir penayangannya. Belum ada pernyataan resmi soal hal ini. 

Namun, terkait dengan pencatutan nama Prof Peter Carey, Jawanis asal Inggris tersebut, berbuntut panjang. Dalam keterangannya kepada Republika.co.id, Prof Peter Carey menjelaskan sejumlah klaim pengusung khilafah tentang sejumlah polemik ihwal klaim khilafah ala HTI di bumi Nusantara. Di antara klaim tersebut adalah bahwa Pangeran Diponegoro pernah melakukan kontak dengan Ottoman.  

Menurut Carey, tidak diragukan lagi kalau banyak orang Jawa, termasuk Diponegoro , yang mengagumi Kesultanan Utsmaniyah pada abad ke-18 dan ke-19. Namun dia menjelaskan penggunaan nama Turki Utsmani oleh Diponegoro yang inovatif dan radikal (Bulkio berasal dari bahasa Turki bölük = regu) untuk pasukan elite paswal-nya, dan penggunaan pangkat Turki, Ali Pasha ("Pasha Agung") untuk panglimanya, Sentot Ali Basah, Pasha (Basah / Komandan Senior) dan Dullah (Komandan Junior) untuk perwira lapangannya, adalah pertanda dari pengaruh yang kemungkinan didapatkan dari, atau dipercepat, oleh karena orang-orang Jawa yang naik Haji dan lama tinggal di Haramain untuk berguru kepada ustadz di Makkah dan Madinah yang ahli dalam bidang hukum dan teologi Islami. 

Menurut Carey, mereka seringkali juga ikut mengabdi secara sementara kepada pasukan pertahanan Utsmaniyah yang menguasai haramain (dua masjid suci Makkah Madinah) setelah mengusir kaum Wahabbi pada 1812, untuk mendapat uang demi melakukan perjalanan pulang ke Jawa. “Maka mereka pun kembali dengan membawa pengalaman dari dunia militer Utsmaniyah,” ujar Prof Carey.  

Dia melanjutkan, Diponegoro sendiri mengambil nama Ngabdulhamid dari seorang sultan Utsmaniyah, Abdulhamid I (bertakhta 1774-1789), seorang sultan yang pertama kali membangkitkan kembali klaim Utsmaniyah atas peran sebagai Khilafah atau pelindung umat Muslim di seluruh dunia, peran yang kemudian diperluas penerus namanya, Abdulhamid II (bertakhta 1875-1908.  

Menurut Prof Carey, semua pengaruh ini memang benar dan tidak dapat disangkal, dan jelas-jelas dirujuk dalam sumber-sumber berbahasa Jawa dan Belanda, misalnya seperti dalam "perang budaya" ketika pihak Belanda mencoba untuk menghasut Sentot, ketika ia membelot ke pihak Belanda pada Oktober 1829, untuk menanggalkan turbannya dan kembali mengenakan blangkon Jawa dan lain-lain.  

Memang, menurut Prof Carey. Belanda bahkan menganggap serius kekaguman orang Jawa terhadap Kesultanan Utsmaniyah ini sampai-sampai mereka memastikan agar para negosiator dari pihak Diponegoro ketika menyiapkan perundingan damai dengan Diponegoro pada Desember 1829 selalu diberitahu tentang perkembangan terbaru dalam perang Russia-Turki yang ketiga (1829-30) yang berakhir dengan Rusia mencaplok benteng pertahanan agung di Edirne/Adrianople, di mana perjanjian damai antara Turki dan Russia ditandatangani pada awal 1830.