Perang Shiffin, Ini Latar Belakang dan Dampaknya

Perang Shiffin
Sumber :
  • steemkr

VIVA – Perang Shiffin adalah bagian dari Fitna Pertama (Perang Saudara Islam) yang berlangsung dari tahun 656–661. Fitna Pertama adalah perang saudara di awal Negara Islam yang disebabkan oleh pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan pada tahun 656 oleh pemberontak Mesir. Perang Shiffin dimulai pada tanggal 26 Juli 657, Pertempuran Siffin berlangsung selama tiga hari, berakhir pada tanggal 28.

6 Kebiasaan Masyarakat Indonesia yang Tidak Boleh Dilakukan di Tanah Suci

Pembunuhan Utsman bin Affan merupakan tragedi dalam sejarah Islam. Pembunuhan-pembunuhan yang diakibatkan oleh ketidakpuasan sebagian umat Islam sekaligus menandai pecahnya persatuan di antara umat Islam yang telah dirintis oleh Nabi. 

Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya stabilisasi politik pasca wafatnya Utsman. Pasca terbunuhnya Utsman, muncul konflik baru antara dua tokoh Muslim yang kuat yaitu Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan. 

Jemaah Indonesia akan Dapat Smart Card dari Arab Saudi, Apa Fungsinya?

Konflik dimulai dengan ketidakmauan Muawiyah untuk berjanji setia kepada Khalifah Ali dan akhirnya menyebabkan pecahnya Perang Shiffin. Melansir dari steemkr, berikut latar belakang perang shiffin dan akibat yang terjadi.

Latar Belakang Perang Shiffin

Dugaan Penistaan Agama, Polisi Diminta Tangkap dan Tahan Pendeta Gilbert

Setelah Perang Jamal dan Ali direbut oleh mayoritas Ansar dan Muhajirin, Ali memindahkan kursi Khilafahnya dari Madinah ke Kufah. Dari Kufah, dia mengirim gubernur baru yang menerima pemikirannya, untuk mengambil alih fungsi pemerintahan provinsi yang memberontak. Namun salah satu gubernur menolak untuk berjanji setia kepadanya, dia adalah gubernur Syam, Muawiyah bin Abu Sofyan.

Muawiyah adalah politisi yang sangat licin dan memiliki ambisi besar. Temperamennya yang lembut dan tidak segan-segan melepaskan hartanya, membuatnya menjadi politisi yang disegani dan banyak sekutu.

Ketika Ali mengirim Jarir bin Abdullah untuk menyerahkan surat kepada Muawiyah untuk berbai'at, Muawiyah tidak langsung menerimanya. Ia justru mengumpulkan Amr bin al-Ash dan tokoh-tokoh dari negeri Syam untuk berkonsultasi.

Setelah musyawarah, mereka memutuskan untuk menolak untuk berjanji setia kepada Ali sampai para pembunuh Utsman dihancurkan atau Ali menyerahkan para pembunuhnya. Jika dia tidak memenuhi permintaan ini, mereka akan melawan Ali dan menolak untuk berjanji setia kepadanya sampai mereka berhasil melenyapkan semua pembunuh Utsman tanpa sisa.

Setelah itu Jarir kembali menemui Ali dan menceritakan keputusan Muawiyah dan warga Syam. Amir al-mu'minin Ali bin Abi Thalib menanggapi ancaman Muawiyah dengan berangkat dari Kufah dengan tujuan menduduki Syam. Dia menyiapkan pasukan di Nukhailah dan mengangkat Abu masud Uqbah bin Amru sebagai emir sementara di Kufah.

Sebelum pergi beberapa orang menyarankan agar Khalifah tinggal di Kufah dan hanya mengirim pasukan ke sana, tetapi beberapa yang lain menyarankannya untuk keluar dengan pasukan.

Ketika berita kepergian Ali sampai di Muawiyah, ia langsung berkonsultasi dengan Amr bin Ash yang juga menasihati Muawiyah untuk keluar bersama pasukannya. Amr kemudian berpidato di hadapan Syam bahwa “Sesungguhnya penduduk Kufah dan Basrah dihancurkan dalam perang Jamal, tidak tersisa bersama Ali kecuali segelintir orang. Termasuk sekelompok orang yang membunuh Khalifah Amir al-mu'minin Utsman bin Affan, Tuhan Allah! Jangan sia-siakan hak-hakmu, jangan biarkan darah Utsman tertumpah dengan sia-sia.”

Kemudian dia menulis pesan kepada semua pasukan di Syam, dalam waktu singkat. Pasukan Syam bersiap untuk pergi. Mereka bergerak menuju Efrat dari arah Shiffin. Ali dan pasukannya pindah dari Nukhlailah ke negeri Syam.

Pecahnya Perang Shiffin

Kedua belah pihak saling berhadapan pada bulan Juli 657 di sebuah tempat bernama Shiffin, di hulu sungai Efrat. Sesampainya di Shiffin, kedua kekuatan tersebut saling bersaing untuk mendapatkan sumber air, menyebabkan konfrontasi kecil. Kemudian kedua belah pihak sepakat untuk berdamai dalam bisnis air ini. Sehingga mereka saling berdesak-desakan di sumber air, mereka tidak saling berbicara dan mengganggu.

Ali tinggal selama dua hari tanpa mengirim surat kepada Muawiyah dan Muawiyah melakukan hal yang sama. Kemudian Ali mengirim utusan ke Muawiyah, tetapi kesepakatan belum tercapai. Muawiyah terus bersikeras pada darah pembunuh Utsman.
Setelah kebuntuan dalam negosiasi, pertempuran antara keduanya pun tak terhindarkan. Mulanya Ali mengajak Muawiyah berperang satu lawan satu, agar konflik di antara mereka segera berakhir. Maka barang siapa yang hidup dialah yang menang dan menjadi khalifah. Namun, Muawiyah menolak ajakan itu, hanya Amr yang mau.

Ketika Ali dan Amr saling berhadapan dan menyentakkan lembing dan pedang mereka, hampir saja Amr terbunuh oleh pedang Ali. Pedang Alli telah mengenai pinggangnya, hampir menembus perutnya sekitar tali celananya dan patah, hingga alat kelaminnya terlihat. Ali tidak ingin melanjutkan pertempuran dan berbalik ke tempat lain dan membiarkan Amr menutupi auratnya.

Setelah itu, pertempuran besar baru saja dimulai. Mulanya Muawiyah mendominasi pertempuran, namun akhirnya pasukan Muawiyah terpaksa mundur karena serangan kuat dari pasukan Ali. Bahkan, beberapa tentara Ali tiba di depan tenda Muawiyah.

Dalam pertempuran terakhir pada 28 Juli 657 M, pasukan Ali di bawah pimpinan Malik al-Ashtar nyaris menang ketika Amr ibn al Ash dengan cerdik melancarkan strateginya. Dia memerintahkan pasukan Muawiyah untuk menempelkan salinan Alquran ke ujung tombak dan mengangkatnya, sebuah tanda yang ditafsirkan oleh tentara Ali sebagai seruan untuk mengakhiri perang dan mengikuti keputusan Alquran.

Ketika tombak tentara Muawiyah dicabut, tentara Ali tidak menyerang lagi, meski nyaris menang. Ali sendiri mengira itu hanya tipu muslihat musuh. Dia berseru, “Wahai hamba Allah, terus rampas hak-hakmu, terus perangi musuhmu, Muawiyah. Amr bin Ash, Ibn bin Muith, Habib bin Muslimah, Ibn Abi Sarah, dan Dhihak ibn Qais. Mereka bukan ahli agama, bukan ahli agama. ahli Alquran. Saya tahu situasi mereka lebih baik. Saya berteman dengan mereka dari masa kanak-kanak dan sampai dewasa. Di masa kecil mereka hanya anak-anak nakal dan pada saat mereka adalah orang-orang yang jahat. Mereka mengangkat Alquran hanya rencana mereka. Mereka mengangkat Al-Qur'an tapi tidak lain hanyalah tipuan. Percayalah pada apa yang saya katakan."

Kerumunan menjawab, "tidak sampai hati kita akan melanjutkan pertempuran jika kita telah dipanggil ke kitab Tuhan."

Pada awalnya Ali ingin melanjutkan perang, tetapi suara para pengikutnya pecah. Beberapa dari mereka tidak ingin berperang lagi, sehingga Ali terpaksa menghentikan perang dengan hati yang sangat gundah. Perang akhirnya berakhir, dan konflik antara keduanya berlanjut ke jalur negosiasi.

Dimulainya Negosiasi

Setelah perang berhenti, Ali mengutus Asy'at Ibn Qaist untuk menemui Muawiyah dan menanyakan maksud mengangkat Al-Qur'an di atas kepala tombak. Muawiyah menjawab bahwa niatnya adalah agar kasus ini dihukum sesuai dengan hukum Allah. Apa yang diputuskan oleh dua orang yang diutus, maka akan diterima. Asy'at tidak menentang usul Muawiyah, dan kembali mempresentasikannya kepada Ali.

Sebelum Ali mengungkapkan pikirannya dengan tergesa-gesa, banyak orang yang menjawab setuju. Syamites yang mendengar itu kemudian berkata bahwa utusan mereka adalah Amr bin Ash. Kemudian pengikut Ali (Irak) berkata, "Kami memilih Abu Musa al-Asy'ari."

Ali, yang mendengar pendapat kaumnya dan berkata, “Jika Anda telah menolak perintah saya di awal kasus ini, sekarang juga tidak disangkal. Saya tidak suka mewakili Abu Musa. “Abu Musa memang orang yang dikenal saleh tapi dia tidak begitu setia kepada Ali.

Namun, penolakan Ali itu justru ditindas oleh mayoritas pengikutnya yang rela mengutus Abu Musa. Sekali lagi Ali terpaksa menurut. Saat itu terlihat pengaruh Ali mulai hilang terhadap para pengikutnya. Di sisi lain, pengaruh Muawiyah memperkuat pasukannya.

Kedua negosiator memegang dokumen perjanjian tertulis yang memberikan kewenangan penuh untuk mengambil keputusan. Keduanya memutuskan untuk menunda negosiasi hingga bulan Ramadhan. Ali dan Muawiyah menyepakati tempat perundingan, yakni di Daumatul Jandal, Adhruh.

Pada bulan Ramadhan yang telah disepakati atau Januari 659 M, kedua kubu bertemu kembali di Daumatul Jandal, Adhruh, dengan membawa 400 saksi dari masing-masing pihak.

Negosiasi yang Berbahaya

Apa yang sebenarnya terjadi dalam negosiasi bersejarah ini sulit dipastikan. Berbagai versi muncul di berbagai sumber berbeda. Ada sejarah yang menyebutkan bahwa kedua partai sepakat untuk menggulingkan dua pemimpin mereka, sehingga membuka jalan bagi calon baru. Tetapi setelah Abu Musa yang lebih tua berdiri dan bersikeras bahwa dia memecat Ali dari jabatan kekhalifahan dan memilih Abdullah bin Umar, Amr mengkhianatinya dan menetapkan Muawiyah sebagai khalifah.

Namun, kajian kritis para sejarawan modern menunjukkan bahwa sejarah mencerminkan pandangan kelompok Irak (sebagian besar referensi) yang berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah, musuh Dinasti Umayyah.

Kemungkinan yang terjadi adalah kedua perunding tersebut memecat kedua pemimpinnya, sehingga Ali menjadi pihak yang kalah, karena Muawiyah tidak memiliki posisi khilafah untuk ditempatkan. Dia tidak lain hanyalah seorang gubernur sebuah provinsi.

Hasil arbitrase telah menempatkannya sejajar dengan Ali, yang posisinya tidak lebih dari seorang pemimpin yang diragukan otoritasnya. Berdasarkan putusan arbiter tersebut, Ali dilengserkan dari jabatan Khilafah yang sebenarnya, sedangkan Muawiyah dilengserkan dari jabatan khilafah fiktif yang ia klaim dan tidak berani tampilkan di depan umum.

Kerugian lain yang dialami Ali karena menerima tawaran arbitrase, yakni berkurangnya simpati sejumlah besar pendukung. Pendukung yang membelot akhirnya membentuk sekte baru yang disebut Khawarij. Kelompok ini dalam perkembangannya akan memusuhi Ali dan pada akhirnya menyebabkan khalifah terbunuh dalam perjalanannya menuju Masjid Kufah, pada tanggal 24 Januari 661 M.

Akibat Perang Shiffin

Melansir dari thoughtco, pertempuran selama tiga hari telah menelan korban sekitar 45.000 orang dari pasukan Muawiyah hingga 25.000 untuk Ali bin Abi Thalib. Di medan perang, para arbiter memutuskan bahwa kedua pemimpin itu setara dan kedua belah pihak mundur ke Damaskus dan Kufah. 

Ketika para arbiter bertemu lagi pada Februari 658, tidak ada resolusi yang dicapai. Pada 661, setelah pembunuhan Ali, Muawiyah naik ke kekhalifahan, menyatukan kembali Kekaisaran Muslim. 

Dimahkotai di Yerusalem, Muawiyah mendirikan kekhalifahan Umayyah, dan mulai bekerja untuk memperluas negara. Berhasil dalam upaya ini, ia memerintah sampai kematiannya pada tahun 680.

Demikian ulasan tentang perang Shiffin, dimana perang shiffin berlangsung dari tahun 656–661. Perang Shiffin merupakan bagian dari Fitna Pertama (Perang Saudara Islam). Fitna Pertama adalah perang saudara di awal Negara Islam yang disebabkan oleh pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan pada tahun 656 oleh pemberontak Mesir. 

Fitna Pertama yaitu perang saudara di awal Negara Islam yang disebabkan oleh pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan pada tahun 656 oleh pemberontak Mesir. Semoga artikel ini dapat menambah wawasan dan bermanfaat.

Ilustrasi salat dan sujud

Miris, Umat Muslim di Kota Monfalcone Italia Dilarang Salat Karena Aturan Baru

Ratusan pria melaksanakan salat Jumat di kota Monfalcone, Italia timur laut. Mereka berlutut di tempat parkir beton dengan kepala tertunduk ke tanah.

img_title
VIVA.co.id
6 Mei 2024