PKS Ingatkan Pemerintah Tidak Berbisnis Vaksin COVID-19

Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Sukamta
Sumber :
  • VIVA/Daru Waskita

VIVA – Wakil Ketua Fraksi PKS di DPR, Sukamta, mengingatkan pemerintah sebaiknya tidak melakukan bisnis vaksin COVID-19 dengan rakyat Indonesia. 

Pilkada 2024 Berbeda dan Lebih Kompleks dibanding Pilkada Serentak Sebelumnya, Menurut Bawaslu

Menurutnya, wacana pemerintah membagi dua skema pemberian vaksin yaitu ditanggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bagi yang kurang mampu. Dan bagi masyarakat yang mampu dengan membayar sendiri, akan menimbulkan banyak polemik dan masalah baru.

“Alasan pemerintah untuk mengurangi defisit anggaran masuk akal, namun pemerintah dilarang membisniskan vaksin dan membiarkan vaksin liar di pasaran,” kata Sukamta melalui pesan tertulis, Selasa 1 September 2020.

KPK Periksa Anggota DPR Fraksi PDIP Ihsan Yunus soal Dugaan Korupsi APD di Kemenkes

Baca juga: Ma'ruf Amin: Jumlah Warga Miskin Meningkat Sejak Pandemi COVID-19

Persoalan dugaan bisnis juga sempat mencuat sebelumnya. Saat itu, bermunculan banyak uji rapid test dengan harga yang sangat mahal, sehingga membebani masyarakat. 

Singapore PM Lee Hsien Loong to Resign After Two Decades on Duty

“Belajar dari pengalaman rapid test dan PCR yang batasan harganya tidak diatur oleh pemerintah, membuat penyedia layanan bebas menentukan harga. Masyarakat kemudian jadi korban,” ujarnya.

Anggota Komisi I DPR ini menduga, sejak awal pemerintah memang hanya mau mengalokasikan anggaran untuk rakyat miskin. Buktinya besaran alokasi vaksin hanya Rp55 triliun.

Anggaran ini sesuai dengan kebutuhan bagi lebih dari 180 juta jiwa penduduk Indonesia yang terdiri atas kategori BPJS kelas 3 sebanyak 132,6 juta jiwa ditambah 44,5 juta jiwa yang belum terdaftar BPJS.

Lebih detail, ia memaparkan, berdasarkan kesepakatan pembelian bulk vaksin dengan Sinovac sebesar US$8 kemudian ditambahkan perkiraan biaya fill and packing sebesar US$2, maka harga per dosis vaksin sebesar US$10 dolar.

Menggunakan perhitungan kurs Rp15.000 per dolar, maka per vaksin dijual seharga Rp150.000, sehingga dibutuhkan anggaran untuk dua kali vaksin sebesar Rp53 triliun.

Sementara itu, bagi peserta BPJS kelas 1 dan 2 sebanyak 91,4 juta jiwa, apabila membeli vaksin mandiri dari negara dengan harga per vaksin US$25 sesuai dengan info awal dari pemerintah, maka diperoleh hasil penjualan vaksin mencapai Rp68,5 triliun. Perhitungan ini bisa membuat pemerintah mendapatkan untung besar dari bisnis jual beli vaksin.

Atas dasar itu, Sukamta mengingatkan pemerintah, jika tetap menggunakan skema menjual vaksin bagi masyarakat yang mampu, maka harus membuat regulasi yang jelas.

“Potensi bisnis vaksin COVID-19 bagi Indonesia luar biasa mencapai Rp68,5 triliun. Tepat jika produksi dan distribusi diserahkan kepada Bio Farma. Kemampuan Bio Farma sudah teruji dalam memproduksi vaksin dan antisera serta pengalaman mendistribusikan vaksin dari pemerintah ke seluruh wilayah Indonesia,” tuturnya. 

“Namun, apabila vaksin dijual bebas maka bisa dipastikan Bio Farma akan bersaing dengan banyak perusahaan yang akan terjun untuk mengimpor dan menjual vaksin secara mandiri. Akibatnya, jika tidak ada regulasi maka pasar bebas harga vaksin akan terjadi,” ujarnya. 

Ia mengungkapkan, perputaran uang di bisnis vaksin pada 2020 diprediksi oleh Zion Market Research mencapai US$59,2 miliar atau setara dengan Rp858,4 triliun (kurs Rp14.500 per dolar AS). Akibat pandemi virus Corona, tiga tahun ke depan, menurut Fortune Business Insight, nilai bisnis vaksin dunia akan menjadi US$65,1 miliar dan pada 2027 melonjak lagi menjadi US$104,87 miliar. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya