Soal RKHUP, Mahfud MD: Tak Mungkin Tunggu Kesepakatan 270 Juta Warga

Menko Polhukam Mahfud MD
Sumber :
  • Reza Fajri/VIVA.

VIVA – Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan, hukum merupakan sebuah resultante atau hasil kesepakatan bersama dari berbagai pemangku kepentingan yang berbeda-beda pandangan. Dari pemikiran yang berbeda tadi, diambil sebuah kesepakatan atau disebut juga resultante.

RKUHP Sah: Mimpi Buruk serta Ancaman Demokrasi di Indonesia

Meski begitu terkait dengan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana RKUHP, Mahfud menuturkan, keputusan harus segera diambil lantaran proses diskusi sudah berjalan lebih dari 50 tahun.

Mahfud mengingatkan, tidak mungkin menunggu kesepakatan dari 270 juta jiwa penduduk Indonesia mengenai substansi revisi KUHP.

Mahfud: Sikap Presiden Jelas soal Pemilu 2024, Jangan Didesak Lagi

"Keputusan tetap harus segera diambil mau mencari resultante dari 270 juta orang Indonesia. Resultante artinya kesepakatan seluruhnya, itu hampir tidak mungkin. Oleh sebab itu keputusan harus segera diambil pada akhirnya melalui due process, proses yang benar proses pengambilan keputusan yang konstitusional," kata Mahfud saat membuka diskusi publik RUU KUHP di Jakarta, Senin, 14 Juni 2021.

Mahfud meyakini, jika tetap harus menunggu hasil diskusi dengan banyak pihak maka penyusunan RUU KUHP akan sulit tercapai. Diskusi dan perdebatan tidak akan pernah selesai mencapai kesepakatan.

Mahfud Bantah Nama Soeharto Dihilangkan dari Sejarah

"Percaya dengan saya pasti apapun anda sepakati hari ini, nanti sore sudah ada yang tidak setuju lagi, besok ada yang tidak setuju lagi lalu kapan selesainya," ujarnya.

KUHP yang ada saat ini sudah berlaku sejak 1 Januari 1918. Dalam perjalanannya produk hukum tersebut terus didiskusikan untuk diganti yang pada akhirnya menjadi UU Nomor 1 Tahun 1946. Selanjutnya, diberlakukan UU Nomor 73 tahun 1958 hingga dibentuk panitia.

Pembaharuan KUHP kemudian digagas pada 1963 saat Seminar Hukum Nasional I di Semarang. Namun, sejak saat itu, proses pembaharuan KUHP seakan menemui jalan buntu.

Mahfud menilai, perdebatan tidak bisa dihindari karena kemajemukan bangsa Indonesia dengan beragam akar pemikiran. Selain itu, terjadi perdebatan yang tak kunjung usai antara pandangan universalitas dan partikularitas menyangkut hak asasi manusia. Pandangan universalitas menyatakan hukum pidana seharusnya universal berdasarkan Universal Declaration of Human Rights tahun 1948.

Sementara, pandangan yang lain menyebut hukum seharusnya disesuaikan kebutuhan masyarakat karena hukum melayani masyarakat.

"Dibicarakan pelan-pelan tapi kalau pelan-pelan lebih dari 60 tahun menurut saya atau lebih dari 50 tahun menurut saya berbicara sebuah hukum itu terlalu berlebihan," katanya.

Untuk itu, Mahfud meminta agar perdebatan yang terjadi harus diakhiri. Melalui proses diskusi publik dan sosialisasi yang gencar dilakukan belakangan ini diharapkan dapat mencapai kesepakatan mengenai RKUHP yang terbaik.

Kalaupun nantinya terdapat pihak yang tidak sepakat dengan substansi KUHP, Mahfud mengatakan, terdapat ruang koreksi melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) atau legislative review di DPR.

"Sudah ada instrumen hukum kalau ada wah ini inkonstitusional nanti ada MK lagi ada legislative review. Tidak mungkin kita menutup terhadap kemungkinan legislative review, meskipun kita bermimpi ini berlaku selamanya dan seterusnya tidak bisa diubah tidak mungkin. Apalagi dengan perkembangan terbaru sekarang ini hukum digital itu akan terus mengalami perkembangan yang tidak akan terkejar oleh antisipasi hukum,"imbuh mantan Ketua MK tersebut.

Baca juga: Menkumham Sebut Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP untuk Jaga Martabat

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya