Pakar Hukum: Amandemen UUD 1945 Kepentingan Elite Bukan Publik

Usai Pelantikan, Anggota DPR, DPD & MPR RI Berswafoto di Gedung Kura-kura
Sumber :
  • VIVA/Muhamad Solihin

VIVA - Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, melihat wacana Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang bakal memasukan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) hanya kemauan Majelis Permusyaratan Rakyat untuk mengambil kembali kekuatan politiknya yang dulu sudah dikembalikan ke rakyat pada amandemen 1999-2002.

Ketua MPR: Putusan MK Menjadi Akhir dari Berbagai Upaya Hukum Konstitusional

Bivitri menilai Indonesia sudah memiliki UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang mengatur adanya rencana pembangunan jangka panjang, rencana pembangunan jangka menengah, dan rencana pembangunan jangka pendek.

"Bahwa masih ada yang tidak selaras, kesalahan bukan pada dokumen (harus berbentuk RPJM atau PPHN) tetapi dalam pelaksanaannya," kata Bivitri saat dikonfirmasi, Kamis, 19 Agustus 2021.

Ikut UU MD3, Airlangga Tegaskan Golkar Tak Incar Kursi Ketua DPR

Bivitri menuturkan cara pandang kontrol pusat melalui PPHN sudah ketinggalan zaman. Dia menyampaikan dalam penyelenggaraan negara modern terutama yang mendukung inovasi dan juga adaptif, tidak perlu ada haluan negara yang ditentukan dengan ketat.

"Model RPJM yang sekarang sudah bagus, apalagi levelnya kebijakan di tingkat UU, sedangkan PPHN yang diinginkan MPR kan levelnya ketinggian, di atas UU, sehingga tidak fleksibel dan akan banyak implikasi negatif untuk kebijakan teknis," katanya.

Elite PDIP Percaya Golkar Tak Akan Nekat Revisi UU MD3

Baca juga: PAN: Amandemen UUD 1945 Tak Boleh Berdasar Politik Sesaat

Selain itu, lanjut dia, PPHN tidak kompatibel dengan sistem ketatanegaraan saat ini, sehingga adanya PPHN nanti tidak ada implikasi hukum tata negara apabila tidak diikuti.

"Tidak bisa lagi dijatuhkan dengan alasan politik pelanggaran PPHN seperti halnya dulu Soekarno dianggap melanggar haluan negara," ujar Bivitri.

Bivitri juga meyakini pembahasan PPHN dalam Amandemen UUD 1945 akan melebar dan sarat akan kepentingan. Karena tidak ada aturan yang mewajibkan pembahasan sesuai agenda secara pasti.

Dalam Pasal 37 UUD 1945 telah diatur tata aturan pengajuan perubahan pasal-pasal baru dapat diagendakan apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR, pengubahan harus dihadiri 2/3 dari jumlah anggota, dan keputusan harus 50% +1. Akan tetapi, ia menegaskan bahwa hal tersebut hanyalah mengatur soal kuorum dan bisa berubah dengan mudah sesuai persetujuan anggota.

"Jadi bisa saja ada agenda tambahan di tengah dan bisa disetujui sepanjang disetujui sesuai kuorum. Dan jangan lupa dalam politik tawar-menawar itu sering terjadi, sangat terbuka peluang, agar PPHN masuk, ada yang harus disetujui," kata Bivitri.

Bivitri menambahkan jika Amandemen UUD 1945 dibahas di tengah pandemi COVID-19 akan menyedot banyak energi. Amandemen biasanya dibahas ketika terjadi peristiwa politik luar biasa.

"Kalau amandemennya dengan cara seperti ini (top down), bisa dipastikan memang ada kepentinga elite politik untuk kepentingan kekuasaan mereka sendiri, bukan untuk kepentingan masyarakat," tutur Bivitri.

Sebelumnya, Ketua MPR Bambang Soestyo mengatakan telah berbincang dengan Presiden Joko Widodo soal rencana amandemen UUD 1945. Salah satu rencana perubahan terbatas ini adalah menyertakan pokok-pokok haluan negara atau PPHN.

Bamsoet, sapaan akrab Bambang, mengatakan PPHN ini akan diusulkan melalui Ketetapan atau TAP MPR. PPHN, yang dulu bernama GBHN, merupakan salah satu rekomendasi MPR periode 2014-2019.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya