Hadapai Platfrom Digital, Media Nasional Perlu Bangun Kemandirian

Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Internasional Dewan Pers, Agus Sudibyo
Sumber :
  • VIVA / Syaefullah

VIVA – Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Internasional Dewan Pers, Agus Sudibyo mengatakan, sikap antiplatfom bukan menolak transformasi digital karena transformasi digital itu suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari. 

Perlindungan Konsumen Punya Dampak Positif ke Kinerja Keuangan Bank, Begini Penjelasannya

"Namun bagaimana media nasional mampu membangun kemandirian
relatif terhadap platfom digital, kemandirian secara teknologi, secara bisnis dan secara jurnalistik," kata Agus dalam bedah buku "Dialektika Digital: Kolaborasi danKompetisi Media Massa Vs Digital Platform," yang digelar FMB9 secara virtual. 

Kemandirian relatif ini, kata Agus, artinya tidak putus secara total dalam menjalin kerja sama dengan platfom digital ini, akan tetapi sebuah sikap untuk tidak terlalu tergantung pada paltfom dalam mendistribusikan konten, memproduksi jurnalisme dan juga dalam berbisnis. 

Indonesia Vs Uzbekistan, Diskominfo Ajak Warga Jambi Nobar di Gubernuran

Ilustrasi wartawan atau pers.

Photo :
  • Pixabay

Namun kemandirian relatif ini, menurut anggota Dewan Pres itu, harus didukung dengan kebijakan yang memadai dari pemerintah. Sehingga, publisher right, serta undang-undang perlindungan data pribadi, sosial media dan lain-lain yang dibuat oleh pemerintah adalah unsurunsur regulasi dimana negara hadir untuk menyehatkan ekosistem media dan menjaga ruang publik yang beradab. 

KPU Penuhi Hanya Dua dari Enam Permohonan ICW terkait Transparansi Sirekap

"Karena model periklanan yang didorong oleh platform ini menunjukan bukanlah model periklanan yang bagus untuk ruang publik media, karena yang menonjol adalah iklan-iklan yang jelek," ucap dia.

Di era digital ini, media massa dituntut untuk menghadirkan informasi yang lebih cepat, variatif, personal dan interaktif. Ketidakmampuan media konvensional dalam memenuhi hal tersebut membuat masyarakat meninggalkannya dan beralih ke platform digital. 

Kata dia, kehadiran platform digital global seperti google, facebook dan lain sebagainya merupakan teman sekaligus lawan atau friend sekaligus enenemy bagi masyarakat, utamanya mereka yang bergerak di media konvensional. Hal inilah yang menyulitkan dalam menghadapi kehadiran platfom digital. 

"Menghadapi platfom digital ini juga tidak gampang. Mereka adalah teman sekaligus musuh. Publisher dengan mereka hubungannya bukan hanya kompetisi tapi juga cooperation," ujarnya. 

Saat ini, menurut dia, tidak bisa mengelak bahwa jurnalis selaku publisher banyak terbantu oleh platfrom-platform seperti google, facebook dan lainnya dalam memproduksi konten dan mendistribusikan. 

"Jadi ini yang susah, kalau mereka lawan seratus persen, itu mereka mudah menghadapinya. Tetapi yang mereka lawan adalah musuh sekaligus teman. Ini sulit dihadapi," katanya. 

Namun, dalam banyak data yang diperoleh, menunjukanbahwa keberadaan serta kehadiran platform digital ini bersifat disruptif terhadap daya hidup industri media massa konvensional. 

"Dan bagaimana dalam keadaan, dalam ekosistem yang disruptif itu, industri media massa di situ jurnalisme harus bisa bertahan hidup," tutupnya.

Respons Kominfo 

Kementerian Komunikasi dan Informatika melalui Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Usman Kansong menyatakan pemerintah memberikan ruang bagi Dewan Pers serta organisasi pers untuk membentuk penciptaan ekosistem media melalui publisher right atau regulasi. 

Hal ini sebagai upaya untuk membendung dampak buruk dari gempuran
platform digital global. 

"Pemerintah menyadari itu sepenuhnya sejak hari pers nasional 2020, Presiden Jokowi menyampaikan komitmennya untuk menjaga media dan menantang komunitas pers untuk menyusun sendiri publisher right atau regulasinya tanpa dicampur tangani oleh pemerintah," ujar Usman.

Usman memastikan, pemerintah hanya akan memfasilitasi semua naskah
akademik. Sementara draftnya disusun sepenuhnya pada kewenangan Dewan Pers dan Organisasi Pers. 

"Bahkan Presiden Jokowi di Hari Pers Nasional pada 2022 kemarin,
menyampaikan akan menyerahkan kepada Dewan Pers dan Organiasi Pers
regulasi itu bentuknya seperti apa. Apakah mau undang-undang, revisi undang-undang atau PP," katanya. 

Usman menuturkan, sebetulnya sudah disepakati regulasi atau publisher right disusun dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP). Namun ada beberapa pihakyang menginginkan agar dibentuk dalam bentuk Perpres. 

"Dan sebetulnya kita sudah bersepakat untuk membentuk itu dalam bentuk PP, namun ada suara lain menginginkan dalam bentuk Perpres, kita pun terbuka untuk itu. Sehingga regulasi ini sifatnya adalah bottom up bukan top down dan jangan sampai terjadi over regulation," katanya.

Usman berpesan, regulasi yang dibuat agar tidak over regulation atau berlebihan sehingga tidak membatasi kebebasan pers. Di sisi lain, Kementerian Komunikasi dan Informatika meminta Dewan Pers dan Organisasi Pers gencar memberikan edukasi kepada masyarakat agar mau membayar informasi yang diinginkan.  

"Ini kita harus mengedukasi masyarakat untuk mau membayar sejumlah uang, sejumlah rupiah begitu, untuk mendapatkan informasi yang diginkan," ujarnya. 

Menurutnya, pertadingan antara media konvensional dengan paltform digital global atau media lokal dengan media global maupun internasional adalah pertadingan antara gratis dan berbayar. 

"Kita harus edukasi, walaupun yang gratis, yang berbayarjuga tetap kita siapkan. Karena memang pertadingan antara media konvesional dan media digital adalah pertadingan antara gratis dan berbayar. Jadi memang kita harus mulai mengedukasi," kata dia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya