Ternate dan Tidore dalam Muhibah Budaya Jalur Rempah 2022

Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim diacara Muhibah Budaya Jalur Rempah 2022
Sumber :
  • Kemendikbud

VIVA – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang bekerja sama dengan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL), dan pemerintah daerah serta berbagai komunitas budaya menggelar Muhibah Budaya Jalur Rempah 2022. Program ini bertujuan sebagai upaya diplomasi budaya dan menguatkan posisi Indonesia sebagai poros maritim dunia, serta keinginan untuk melihat narasi sejarah peradaban rempah dari geladak kapal Indonesia sendiri.

Kemenkominfo Gelar Kegiatan Chip In "Menjadi Warga Digital yang Cakap, Beretika dan Berdaya"

Saat ini pemerintah sedang berupaya mengajukan Jalur Rempah sebagai Warisan Budaya Dunia yang diakui oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) di tahun 2024 mendatang. Jalur rempah ini bukan hanya kenangan terhadap masa lalu tetapi juga memiliki arti penting di masa sekarang. Dan Muhibah Budaya Jalur Rempah adalah wujud nyata untuk mengaktualisasi arti penting dari jalur rempah bagi kita sekarang ini.

Muhibah Budaya Jalur Rempah dimulai dari 1 Juni 2022 hingga 2 Juli 2022 dengan menggunakan kapal legendaris KRI Dewaruci milik TNI AL. Kegiatan ini menyusuri enam titik Jalur Rempah yakni Surabaya, Makassar, Baubau dan Buton, Ternate dan Tidore, Banda Neira, dan Kupang serta dijadwalkan kembali ke Surabaya pada 2 Juli 2022.

Gandeng Sejumlah Kampus di Indonesia, Maxnovel Tumbuhkan Minat Baca Melalui Karya Fiksi

Para peserta Muhibah Budaya Jalur Rempah 2022 atau Laskar Rempah merupakan pemuda-pemudi yang dipilih dari 34 provinsi di Indonesia yang berjumlah 149 orang, yang dibagi menjadi 4 kelompok (batch) yaitu kelompok Lada (35 orang) dengan rute pelayaran Surabaya-Makassar; kelompok Cengkeh (37 orang) dengan rute pelayaran Makassar-Baubau,Buton-Ternate&Tidore; kelompok Pala (37 orang) dengan rute pelayaran Ternate&Tidore-Banda Neira-Kupang; dan kelompok Cendana (38 orang) dengan rute pelayaran Kupang-Surabaya.

Melalui program Muhibah Budaya Jalur Rempah diharapkan dapat menumbuhkan kebanggaan masyarakat di berbagai daerah sekaligus memperkuat jejaring interaksi budaya antardaerah sehingga menimbulkan semangat nasionalisme, meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengembangkan dan memanfaatkan Warisan Budaya dan Cagar Budaya Nasional, serta menginisiasi berbagai program dan aktivitas terkait Jalur Rempah di daerahnya masing-masing sebagai modal untuk meningkatkan kesejahteraan.

Pariwisata Hijau dan Berkelanjutan Bakal Jadi Fokus Kemenparekraf

Selama di titik Ternate dan Tidore, Laskar Rempah napak tilas kejayaan rempah dengan mengunjungi situs-situs cagar budaya, mempelajari karakteristik rempah-rempah dan budaya setempat, mengunjungi Perkebunan Cengkeh dan Pala, serta menghadiri jamuan yang telah disiapkan. Laskar Rempah dijadwalkan akan melanjutkan pelayaran tanggal 15 Juni 2022 menuju Tidore, dan melanjutkan pelayaran ke Banda Neira pada 16 Juni 2022 dari Tidore.

Ternate dan Tidore dalam Jalur Rempah

Ternate dan Tidore seolah menjadi satu kata yang tak terpisah. Padahal Ternate dan Tidore adalah bagian dari Kepulauan Maluku bagian utara, yaitu pulau-pulau Ternate, Tidore, Makian, Bacan, dan Moti. Ternate memiliki rempah cengkeh, salah satu rempah raja Nusantara yang mulanya hanya tumbuh dan ditemukan di Ternate, serta terbukti telah berkelana jauh hingga ditemukan di belahan dunia lain.

Merunut kepada bukti sejarah, Ternate dan Tidore adalah bagian dari Kepulauan Maluku bagian utara yang oleh para pedagang Arab kepulauan itu diberi nama Jazirah Al Mamluk. Kepulauan Raja–Raja merujuk kepada empat kerajaan bahari yang jejaknya masih bisa kita temui hingga saat ini, yaitu Kerajaan Jailolo, Ternate, Tidore, dan Bacan. Wilayah tersebut digadang-gadang sebagai taman firdaus yang penuh misteri. Para pedagang Arab dan Tiongkok selama berabad-abad sengaja merahasiakan keberadaannya hingga maskapai dagang Eropa berhasil membuka tabir misteri rempah Nusantara pada abad ke-16 Masehi. Sampai dengan awal abad ke-17 Masehi, cengkeh dan pala hanya bisa ditemukan kepulauan Maluku bagian utara dan Banda.

Sebagai masyarakat bahari, orang-orang Ternate dan Tidore sangat akrab dengan lautan. Laut bukanlah pemisah bagi pulau-pulau mereka, tapi justru pemersatu bagi masyarakat yang beragam, mendampingi memori kolektif kejayaan rempah Nusantara yang pernah mengharumkan nama Maluku dalam kancah perdagangan dunia. Tradisi berperahu dengan menggunakan perahu Kora-Kora yang dulu digunakan untuk pelayaran Hongi masih terus dilestarikan. Peradaban rempah di wilayah ini pada suatu masa telah menciptakan laboratorium keragaman bangsa-bangsa dunia. Semua keragaman itu tercermin dengan jelas dalam bentuk seni budaya Maluku pada saat ini.

Di Ternate, masih tersisa benteng-benteng yang bersaksi atas sengitnya kompetisi perdagangan rempah-rempah antarbangsa di dunia. Di pulau ini terpancang dengan megah Gunung Gamalama dan bernaung di bawahnya bangunan bersejarah Kedaton Kesultanan Ternate, saksi lainnya dari perdagangan cengkeh pada abad ke-19 di Maluku.

Rempah Raja Nusantara yang Melegenda dalam Sejarah Dunia

Cengkeh, salah satu rempah raja Nusantara yang terbukti telah berkelana jauh hingga ditemukan di belahan dunia lain, ribuan kilometer dari Nusantara. Pada 1980-an, arkeolog merilis temuan cengkeh Maluku yang telah menjadi arang dalam wadah keramik yang tertata rapi di suatu dapur rumah Tuan Puzurun dalam tembok kota kuno Suriah. Artefak butiran cengkeh itu disinyalir telah berusia lebih dari 3.500 tahun lalu. Ini adalah temuan penting dalam sejarah rempah dunia, melengkapi temuan lainnya, bahwa rempah Nusantara telah digunakan di Mesir sebagai bahan pengawet jenazah raja-raja sejak 3.000 tahun Sebelum Masehi.

Perjalanan yang ditempuh oleh rempah raja Nusantara itu hingga mampu berkelana ribuan kilometer dari wilayah timur Nusantara hingga sampai di jazirah Arab, Afrika, dan Eropa, hingga saat ini belum ada yang dapat mengungkapnya dengan jelas. Sumber Yunani pada awal abad Masehi, dokumen yang memberikan deskripsi spesifik tentang rute perdagangan Samudra Hindia menunjukkan dengan jelas bahwa Nusantara terlibat dalam hubungan dagang antara India dan Romawi.

Sementara itu di kawasan Asia, Tiongkok sejak 200 tahun Sebelum Masehi juga diketahui telah mengimpor cengkeh dari Maluku. Rentang waktu ribuan tahun itu tentu menghambat dalam pelacakan rute kelana rempah raja Nusantara hingga sampai di belahan dunia lain. Jack Turner (2005) menyatakan bahwa untuk beberapa abad lamanya, asal muasal rempah dan wewangian Nusantara adalah misteri bagi masyarakat dunia. Para pedagang Arab dan Tiongkok selama berabad-abad sengaja merahasiakan keberadaannya hingga maskapai dagang Eropa berhasil membuka tabir misteri rempah Nusantara pada abad ke-16 Masehi.

Meski tidak sehebat masa lalu, hingga hari ini perkebunan cengkeh terus dikembangkan di Kepulauan Maluku. Perubahan iklim global dan kondisi alam Indonesia yang terus berubah secara dinamis menjadi tantangan tersendiri dalam usaha pelestarian dan pengembangan tanaman rempah. Kesadaran mengulik jati diri rempah adalah upaya untuk mengumpulkan kembali Indonesia secara utuh. Indonesia yang bergerak dinamis menuju masa depan menempati ruang sejarah dunia yang lebih gemilang.

Baca juga: Menilik Budaya Bahari di Tengah Masyarakat Suku Bajo

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya