Dugaan Pelanggaran Etik, Majelis Hakim Kasus AW 101 Dilaporkan ke KY

Ilustrasi kursi majelis hakim
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

VIVA Nasional - Majelis hakim tingkat pertama dan banding dugaan kasus korupsi pengadaan Helikopter Agusta Westland (AW)-101 dilaporkan ke Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA), Rabu kemarin. Laporan dilakukan oleh Iskandar DG Pratty, selaku kuasa hukum John Irfan Kenway alias Irfan Kurnia Saleh.

BTN Ajak Nasabah Tempuh Jalur Hukum Tuntaskan Kasus Dugaan Penipuan

Alasan pelapor karena majelis hakim diduga melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim dalam membuat putusan. Dalam kasus AW 101, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Barat menjatuhkan vonis John Irfan 10 tahun penjara.

John dinilai secara sah dan meyakinkan bersalah turut serta dalam dugaan korupsi pengadaan helikopter AW 101 di lingkungan TNI Angkatan Udara (AU) tahun 2015-2017. Pun, di tingkat banding, Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama.

Segini 'Tarif' Ketok Palu Bebas dari Gazalba Saleh untuk Perkara di MA

Iskandar DG Pratty menjelaskan alasan melaporkan majelis hakim karena dugaan pelanggaran kode etik. Dia bilang ada 3 hal karena hakim diduga tidak adil, tidak arif dan bijaksana, serta tidak profesional.

Menurutnya, majelis hakim tidak adil karena majelis hakim selaku terlapor tak menempatkan sesuatu pada tempatnya.

Gazalba Saleh Didakwa Terima Gratifikasi Rp 650 Juta

“Hal ini antara lain terlihat dari putusan yang jelas-jelas tidak menempatkan semua dokumen bukti-bukti surat pelapor yang berkaitan dengan pengadaan AW-101 yang telah menjadi barang milik negara,” kata Iskandar dalam keterangannya, dikutip pada Kamis, 1 Juni 2023.

foto ilustrasi keadilan

Photo :

Iskandar mengatakan, justru sebaliknya, majelis hakim memasukkan dan mempertimbangkan keterangan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) seorang saksi. Padahal, saksi tersebut gagal dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di persidangan.

Lalu, Iskandar menyebut hakim tidak arif dan bijaksana, karena tak pertimbangkan dalil-dalil yang diajukan terdakwa terkait penyelesaian kasus AW-101 melalui putusan PN Jakarta Timur yang telah berkekuatan hukum tetap.

Dia menjelaskan, dalam putusan itu, tak ada unsur tindak pidana secara bersama-sama yang dilakukan terdakwa dengan penyelenggara negara lainnya sebagaimana diwajibkan dalam Undang-Undang (UU) No 31 Tahun 1999 yang diperbarui dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor.

"Tidak ada perhitungan kerugian negara yang sah dilakukan oleh lembaga yang yang berwenang, yakni BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Perhitungan negara justru dilakukan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sendiri,” kata Iskandar.

Kemudian, Iskandar menyebut hakim dinilai tak profesional, karena mereka diduga keliru membuat putusan. Kata dia, hakim juga tak memiliki kesungguhan melaksanakan pekerjaannya dengan menghukum terdakwa. Dia mengatakan demikian karena nyata-nyata tak ada dasar perhitungan kerugian negara dari BPK.

“Padahal hakim sendiri dalam putusannya menyatakan BPK adalah lembaga yang berwenang menghitung kerugian negara," jelasnya.

Menurut dia, majelis hakim selaku terlapor juga diduga tak profesional dengan mempertimbangan saksi ahli yang tak sejalan dengan ketentuan Pasal 1 angka 28 KUHAP.

"Bahkan sikap tidak profesional terlapor lainnya yaitu pertimbangan keterangan saksi ahli Kiki Fauziah, seorang PNS di KPK dalam menghitung kerugian negara kasus AW-101,” lanjutnya.

Kemudian, Iskandar juga menyoroti dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim yang dilakukan majelis hakim tinggi di PT DKI Jakarta dalam putusan banding kasus AW-101.

Alasan pertama, menurutnya, terlapor secara tak adil menyatakan mengambil alih pertimbangan majelis hakim tingkat pertama. Dia menyebut hal itu melukai rasa keadilan terdakwa. Hal tersebut karena majelis tingkat pertama tak mengakomodir fakta-fakta hukum yang sebenarnya terjadi di persidangan. Bahkan, diduga majelis tingkat pertama meng-'copy paste' dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Lalu, dia menekankan alasan kedua yaitu majelis hakim dengan tak arif dan tak bijaksana serta dengan sengaja tak mempertimbangan alasan pelapor. Dalam hal ini, tak mempertimbangkan alasan pelapor sebagai pembanding bahwa selisih nilai kerugian yang disebutkan majelis hakim tingkat pertama adalah uang pajak PPh dan PPn yang dibayarkan kepada negara dalam pengadaan AW-101 sehingga sejatinya tak ada kerugian negara.

“Ketiga, majelis hakim tinggi juga bersikap tidak profesional dengan tetap melakukan musyawarah seolah-olah berdasarkan berkas perkara yang diterima makanya dibuat putusan," lanjut Iskandar.

Dia menyebut fakta putusan dibuat majelis hakim tinggi tanpa adanya berkas perkara dari pengadilan tingkat pertama. "Sikap tidak profesional majelis hakim tinggi ini paling fatal dan menunjukkan adanya dugaan rekayasa untuk menghukum terdakwa," jelas Iskandar.

Ia merujuk ada bukti dalam surat pengantar petikan putusan yang ditandatangani Panitera Pengadilan Tinggi DKI Jakarta kepada Panitera PN Jakpus disebutkan berkas perkara tindak pidana pada Bundel A tak dikirim oleh PN Jakpus. “Artinya, majelis hakim tinggi saat melakukan musyawarah dalam pengambilan putusan hanya dengan cara ‘tutup mata’, main “bim salabim’,” ujarnya.

Iskandar berharap KY dan Badan Pengawas MA bisa memeriksa pihak-pihak yang dilaporkan terkait dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim. Menurut dia, hal itu demi terwujudnya hukum yang berkeadilan dan berkemanfaatan serta memiliki kepastian serta menjamin hak-hak hukum setiap warga negara sesuai amanat konstitusi dan tujuan negara

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya