Perlukah Satpol Bersenjata Api?

Gladi HUT Satpol PP di Silang Monas
Sumber :
  • VIVAnews/Tri Saputro

VIVAnews - Entah siapa yang memulai, Rabu 14 April 2010 siang itu, pecah bentrokan antara masyarakat dengan lebih seribu personel Satuan Polisi Pamong Praja di dekat makam Mbah Priok, Koja, Jakarta Utara. Massa bersenjata apa adanya melabrak personel Satpol yang bersenjata pentungan, yang dituduh hendak menggusur makam.
 
Kerusuhan pecah. Puluhan kendaraan dibakar. Asap hitam membubung di kawasan yang bertetangga dengan Pelabuhan Tanjung Priok itu. Hasilnya, tiga personel Satpol PP tewas, lebih dari seratus orang luka-luka dan dilarikan ke rumah sakit.
 
Keprihatinan melanda. Presiden bicara. Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia turun memeriksa.
 
Komnas HAM mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta untuk mengevaluasi dan meminta pertanggungjawaban Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, atas kerusuhan itu.

Klasemen Liga 1: Klub Raffi Ahmad Kecebur Zona Degradasi

Selain itu, Komnas merekomendasikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk mengevaluasi secara menyeluruh keberadaan Satpol PP. Selain itu,  anggota Satpol PP perlu diberi penyuluhan hak asasi manusia dan pelaksanaan fungsi dan tugas Satpol dibekukan.
 
Alih-alih menjalankan rekomendasi Komnas HAM, tiba-tiba awal bulan Juli 2010 ini, muncul Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). PP ini kemudian dilengkapi dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2010.
 
Isinya, Satpol dapat membawa dan menggunakan senjata api namun tidak menggunakan peluru tajam, hanya peluru gas dan peluru hampa. Selain itu, pemegangnya harus mendapat izin kepolisian setempat.
 
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi buru-buru membantah PP ini berkaitan dengan peristiwa Koja. Mantan Gubernur Sumatera Barat itu mengungkapkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 telah dirancang sebelum Januari 2010 atau jauh sebelum kerusuhan di depan Makam Mbah Priok yang menewaskan tiga anggota Satpol PP.
 
Tapi kontroversi sudah beredar. Kepolisian mempertanyakan urgensinya. Bahkan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto tidak setuju bila PP dan Permendagri tentang Satpol PP itu diberlakukan saat ini.
 
"Khusus untuk pasal 8 Permendagri belum urgen diberlakukan, dengan menimbang asas mudaratnya, akan lebih besar dibanding manfaatnya," kata Djoko Suyanto melalui pesan singkat yang diterima VIVAnews, Rabu 7 Juli 2010.
 
Menindaklanjuti, Menkopolhukam sudah berkordinasi dengan Mendagri dan setuju dengan pendapat tersebut. "Saya sudah menghubungi Mendagri dan sudah saya katakan jangan diberlakukan, dan beliau (Mendagri) sudah setuju bahwa Satpol PP tak perlu menggunakan senjata api," tuturnya.
 
Dengan demikian, menurut Djoko, Satpol PP hanya butuh tongkat atau pentungan, dan tameng saja. "Pengertian senjata itu yang tentunya bukan mematikan, tetapi sekedar melumpuhkan. Jadi lebih ke persuasif. Cukup menggunakan tameng dan pentungan saja," ujar mantan Panglima TNI itu.
 
Di Solo, Walikota Solo Joko Widodo menyatakan dengan tegas menolak pemberlakukan PP dan Permendagri soal Satpol itu. "Kemarin saja di Tanjung Priok tanpa senjata saja sudah ramai. Apa kemarin kurang puas dengan main gebuk. Lantas, mau main tembakan. Jika diberi senjata api, bisa-bisa masyarakat ditembaki. Itu merupakan ide gagasan gila,” ujarnya.
 
Di Senayan, kecaman juga muncul. Ketua Partai Amanat Nasional, Teguh Juwarno, menyebut PP itu bisa membuat Satpol PP bak "koboi jalanan." "Karena Satpol disiapkan untuk menggunakan pendekatan kekerasan dalam menyelesaikan masalah," kata Wakil Ketua Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat itu.(np)

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Kuntadi

Terkuak, Ini Peran 5 Tersangka Barus Kasus Korupsi Timah

Kejaksaan Agung RI mengungkap lima tersangka baru kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan

img_title
VIVA.co.id
27 April 2024