- VIVAnews/Anhar Rizki Affandi
VIVAnews - Aksi kekerasan pelajar yang marak belakangan ini dinilai sebagai puncak gunung es krisis keteladanan Bangsa Indonesia. Anak-anak Indonesia banyak disuguhi tontonan kekerasan, baik fisik maupun psikis.
"Kami memohon kepada televisi-televisi untuk tidak menayangkan tindak kekerasan yang sedang terjadi," kata Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Badriyah Fayumi, Kamis 27 September 2012.
Badriyah mengatakan, aksi kekerasan di sekolah ini justru tidak diperhatikan serius oleh pemangku kebijakan nasional. Dia mengatakan, terus berulangnya tawuran antarpelajar SMA 70 dan SMA 6 Jakarta sebagai akibat tak seriusnya perhatian itu.
Menurut Badriyah, aksi tawuran yang merenggut korban jiwa itu sudah terjadi turun temurun. Aksi itu telah menjadi ajang 'balas-membalas'. Untuk mengurangi aksi kekerasan itu, orangtua, sekolah, masyarakat, pemuka agama, dan pemerintah sangat diperlukan. "Pemerintah harus hadir secara total, tidak parsial untuk kepentingan terbaik bagi anak," tambah Badriyah.
Selain itu, tambah dia, para pelajar juga butuh figur panutan. Guru, lanjut Badriyah, merupakan kunci dari keteladanan siswa di sekolah. Guru diharapkan tidak hanya sekedar mentransfer ilmu, namun juga menjadi pengganti orang tua di sekolah.
"Pendidik juga harus melakukan pembinaan yang baik. Kita tekankan bahwa peran guru harus sebagai panutan dan juga sebagai orang tua," ujar Badriyah.